Sinergi Pemerintah Diperlukan dalam Penetapan Hutan Adat
Oleh
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Penetapan hutan adat dalam program perhutanan sosial kerap terkendala di tingkat peraturan daerah untuk pengakuan masyarakat hukum adat. Sosialisasi yang merata kepada pemerintah daerah perlu ditingkatkan mengingat pemerintah pusat menargetkan penetapan hutan adat sekitar 3.000 hektare tahun ini.
Dalam skema perhutanan sosial, proses pengakuan atau penetapan hutan adat perlu didahului dengan pembentukan panitia hukum adat di tingkat kabupaten. Setelah dilakukan pendataan komunitas masyarakat adat dan pemetaan kawasan, masyarakat tinggal menunggu penetapan hutan adat dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Dalam diskusi “Meretas Mimpi Hutan Adat” di Jakarta, Rabu (16/1/2019), Direktur Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (Huma) Indonesia Dahniar Adriani mengatakan, ada kendala di daerah yang memiliki otonomi khusus dalam penetapan hutan adat. Ia mengatakan, otonomi khusus Papua mengakui keberadaan masyarakat hukum adat dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
“Otonomi khusus Papua juga secara langsung mengakui dan menghormati keberadaan masyarakat hukum adat. Berdasarkan undang-undang itu, seharusnya tidak diperlukan lagi produk hukum pemerintah daerah sebagai syarat hutan adat,” kata Dahniar.
Dahniar menambahkan, hal ini membuat ada hambatan prosedural penetapan hutan adat. Meski sudah mendapatkan produk hukum dari pemerintah daerah, pemerintah pusat pun dinilai lamban membuat penetapan hutan adat.
Tersendatnya penetapan hukum adat ini membuat masyarakat hukum adat yang hidup di areal konflik kerap menghadapi intimidasi dari pihak lain. Hal itu disebabkan belum tuntasnya penyelesaian konflik setelah masyarakat mendapatkan penetapan hutan adat.
Huma mencatat saat ini ada 326 konflik sumber daya alam dan agraria. Sebanyak 86 konflik kawasan hutan seluas 1,1 juta hektare dengan korban 95.001 jiwa masyarakat adat dan 26.569 masyarakat lokal.
“Ini menyebabkan hak tradisional masyarakat hukum adat belum terjamin sekalipun mendapat keputusan penetapan hutan adat,” ujar Dahniar.
Peran aktif
Lamanya proses penetapan hutan adat dialami oleh Masyarakat Kasepuhan Pasir Eurih di Kabupaten Lebak, Banten. Mereka sudah mengajukan permohonan sejak November 2017 dan baru disurvei ke lokasi pada November 2018. Anggota Komunitas Pemuda adat kasepuhan Pasir Eurih, Jajuli, mengatakan, masyarakat tidak bisa memantau proses legalisasi penetapan hutan adat dan hanya bisa menunggu.
“Kami tidak tahu prosesnya sampai mana. Kami tidak bisa memantau,” kata Jajuli, yang juga hadir dalam diskusi itu.
Dihubungi terpisah, Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK Muhammad Said mengatakan, kendala kerap terjadi di tingkat pemerintah daerah.
“Kasus di Lebak juga macam-macam. Satu contoh, perda sudah ada, tetapi peta wilayah adatnya belum sepenuhnya ditetapkan. Di dalam perda disebutkan penetapan wilayahnya ditetapkan bupati dan ada yang belum ditetapkan oleh bupati,” ujar Said.
Ia mengatakan, masyarakat hukum adat yang sudah memenuhi syarat akan segera diproses. Selain kelengkapan syarat administratif dan peta wilayah, Said mengatakan, proses penetapan hutan adat akan menjadi cepat jika tidak ada sengketa.
“Waktu verifikasi ke lapangan sekitar satu bulan. Jika semua tidak ada kendala, keputusan penetapan hutan adat sekitar tiga bulan,” kata Said.
Ia mengatakan, konflik dan peta wilayah perlu diselesaikan oleh pemerintah daerah. Sebab, pemerintah daerah yang mengetahui permasalahan di daerahnya masing-masing.
Papua
Untuk kasus di Papua, Said mengatakan, pengakuan masyarakat hukum adat tetap membutuhkan pengakuan dengan peraturan daerah khusus. Ia mengacu pada Peraturan Daerah Nomor 23 Tahun 2008 Provinsi Papua.
Said mengatakan, KLHK sudah membuat kelompok kerja untuk mengadakan sosialisasi dan advokasi mengenai peraturan daerah tentang prosedur dan syarat administrasi penetapan hutan adat. Terkait permasalahan itu, Huma merekomendasikan ada rekonstruksi kerangka hukum dalam penetapan hutan adat.
Harmonisasi aturan hukum dari pusat sampai ke daerah perlu dilakukan agar hak masyarakat mengelola hutan adat mendapat jaminan negara. “Saat ini ada banyak peraturan yang tersebar di banyak perundang-undangan namun belum selaras dalam mengatur penetapan hutan adat,” kata Dahniar.
Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Hariadi Kartodihardjo, mengatakan, selain pendekatan hukum, perlu ada gerakan sosial dari masyarakat agar konflik agraria disuarakan secara politik. Penyelesaian konflik sumber daya alam dan agraria menurutnya tergantung pada kemauan politik (political will) pemerintah.
Hariadi menilai, persoalan konflik agraria belum mencuat ke permukaan sehingga permasalahan di sektor itu terus bergulir. Menurutnya, pemerintah perlu mengambil sikap untuk menyelesaikan masalah ini karena hal ini menjadi kendala dalam penetapan hutan adat
“Ini persoalan politik, kira-kira begitu. Ini harus melambung ke permukaan. Yang dirugikan dari konflik ini bukan hanya masyarakat adat saja, tetapi juga usaha komersial (di lahan yang berkonflik) karena menghadapi konflik dari waktu ke waktu,” ujar Hariadi. (SUCIPTO)