JAKARTA, KOMPAS – Keutamaan dari hadirnya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa bukan terletak pada pengalokasian dana desa, melainkan pada pemberian kedaulatan desa. Kedaulatan itu hadir antara lain pada dua dimensi, yakni pengakuan kewenangan desa berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan lokal skala desa.
Dua dimensi tersebut sebelumnya tidak diakui atau belum menjadi satu aspek penting dalam kehidupan desa. Kini, dengan hadirnya UU Desa, setidaknya empat hal mengemuka dan diatur di dalam ketentuan itu, yakni politik desa, politik kedaulatan desa, politik pembangunan desa, dan politik literasi desa.
Ahmad Erani Yustika, staf khusus presiden, yang hadir dalam “Panel Rembuk Nasional untuk Kedaulatan Desa,” Selasa (15/1/12019) di Bentara Budaya Jakarta mengatakan, anugerah terbesar dari UU Desa bukanlah alokasi dana desa yang bisa dinikmati oleh warga desa, melainkan pengakuan terhadap kedaulatan desa. Dengan adanya kedaulatan ini, konsep pembangunan di desa berubah menjadi pembangunan desa. Warga desa menentukan nasibnya sendiri melalui lembaga musyawarah desa atau musdes. Dalam kerangka itu pula, warga melaksanakan politik desa.
Yang paling menentukan sejauh mana keberhasilan suatu desa itu terletak pada literasi desa atau basis pengetahuan warga desa
UU Desa pun sebenarnya membongkar imajinasi lama mengenai pembangunan desa.
“Pembangunan bagi banyak orang hanya dimaknai sebatas gambaran soal infrastruktur, serta sarana dan prasarana ekonomi. Kalau di ekonomi, ukurannya ialah pembangunan ekonomi dan jalan tol. Padahal pembangunan desa lebih kaya dari itu. Bahkan saat bicara soal fundamental pembangunan di desa meliputi juga adat budaya, dan lingkungannya. Belakangan, perspektif pembangunan desa semacam itu terus berkembang,” ujarnya.
Namun, yang paling menentukan sejauh mana keberhasilan suatu desa itu terletak pada literasi desa atau basis pengetahuan warga desa.
“Kesadaran literasi desa itu kebutuhan, bukan kemewahan. Untuk daerah seperti Sumatera dan Kalimantan, misalnya, warga desa harus dibuat melek mengenai isu lingkungan, sehingga orang memahami pola pembangunan yang sesuai dengan kondisi desanya,"ujarnya.
Elite desa
Dalam acara yang diselenggarakan Lembaga Daulat Desa (LDD) dan Forum Desa Mandiri tanpa Korupsi, kemarin, hadir pula anggota panitia khusus UU Desa Ahmad Muqowam, Bupati Kudus Muhammad Tamzil, Deputi Kepala Staf Presiden Yanuar Nugroho, dan Kepala Desa Panggungharjo, Sewon, Bantul, Yogyakarta, Wahyudi Anggoro Hadi.
Yanuar mengatakan, wujud kedaulatan desa tertinggi berada di tangan musdes. Sayangnya, dari hasil kajian KSP, kedaulatan itu kerap masih terpusat di tangan elite desa. Hal itu antara lain terlihat dari tidak berubahnya orang-orang yang menghadiri musdes.
“Untuk mencegah hal itu terjadi, pemerintah perlu mengubah tata cara musdes. Supaya kedaulatan desa tidak terpusat di tangan orang-orang itu saja, maka representasi perwakilan warga diminta hadir di dalam setiap musdes. Kebijakan itu mulai menampakkan hasilnya,” katanya.
Kedaulatan itu kerap masih terpusat di tangan elite desa. Hal itu antara lain terlihat dari tidak berubahnya orang-orang yang menghadiri musdes.
Wahyudi mengatakan, pengalamannya sebagai kades menunjukkan, kedaulatan desa tergantung pada tiga hal, yakni kapasitas sosial, kapasitas politik dan kepemimpinan, serta kapasitas proses dan birokrasi. Dari itu semua, menurut Wahyudi, yang menjadi kunci ialah kapasitas sosial.