YOGYAKARTA, KOMPAS—Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa Balairung Universitas Gadjah Mada mendapat dukungan dari sejumlah organisasi dalam menghadapi proses hukum. Lembaga tersebut menjadi salah satu saksi yang diperiksa terkait kasus dugaan pelecehan seksual yang menimpa mahasiswi universitas tersebut.
“Kami menolak segala upaya pengaburan isu penyelesaian kasus kekerasan seksual di UGM,” kata Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta Yogi Zul Fadhli, di Yogyakarta, Rabu (16/1/2019).
Kasus dugaan pelecehan seksual itu menimpa mahasiswi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, saat menjalani Kuliah Kerja Nyata, di Pulau Seram, Maluku, pada 2017. Terduga pelaku mahasiswa Fakultas Teknik UGM, yang menjalani KKN bersama korban.
BPPM Balairung menuliskan berita tentang dugaan pelecehan seksual tersebut dan mengunggahnya di situs resmi mereka, pada November 2018. Berita tersebut mendapatkan tanggapan dari berbagai pihak setelah tersebar luas melalui media sosial.
Pada 7 Januari 2019, Citra Maudy, penulis berita dari BPPM Balairung, diperiksa oleh penyidik sebagai saksi terkait kasus tersebut, di Polda Daerah Istimewa Yogyakarta. Pihak BPPM Balairung dinilai turut mengetahui tentang terjadinya kasus dugaan pelecehan seksual itu. Namun, sewaktu pemeriksaan, pertanyaan yang diajukan dianggap tidak sesuai dengan substansi kasus tersebut.
Yogi menyatakan, terdapat kesan pemberitaan yang dibuat oleh BPPM Balairung hendak dipermasalahkan. “Bahkan, ada satu pertanyaan yang menanyakan berita ini hoaks atau tidak. Materi ini tidak selaras dengan basis penyidikan,” katanya.
Yogi menambahkan, pemberitaan itu seharusnya tidak bisa dipermasalahkan oleh aparat kepolisian. Menurut dia, ada cara penyelesaian mengenai pemberitaan menggunakan mekanisme jurnalistik sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Artinya, kalau pers mahasiswa adalah bagian dari institusi pers, reportase dan pembuatan berita, kawan-kawan Balairung mesti dilindungi,” kata Yogi.
Oktaria Asmarani, perwakilan BPPM Balairung, mengungkapkan, pihaknya telah memuat informasi yang jelas. Berita tersebut dibuat sebagai langkah untuk mengungkap kebenaran.
“Kami memuat informasi yang jelas. Itu bukti pertanggungjawaban kami sebagai media. Apa yang kami tuliskan merupakan upaya mengungkap kebenaran. Jika ada pihak yang mempertanyakan atau dirugikan, kami menyediakan hak jawab,” kata Asmarani.
Sementara itu, Koordinator Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta Tommy Apriando mengkhawatirkan, pemanggilan yang dilakukan aparat kepolisian ini mengancam demokrasi. Sebab, pers mahasiswa itu juga harus punya kebebasan dalam memberitakan atau mengkritisi permasalahan yang terjadi. Selain itu, wartawan Balairung memperoleh informasi tentang dugaan pelecehan seksual juga dari korban, bukan di lokasi kejadian.
“Saya kira penyidik harus cerdas untuk melihat konteks pemanggilan ini. Jika ingin serius menuntaskan kasus ini, harus mencari saksi, atau keterangan dari orang yang benar-benar paham kasus ini. Tidak menyimpang dari peristiwa yang sebenarnya,” kata Tommy.
Hal serupa diungkapkan oleh Ketua LBH Pers Yogyakarta Pito Agustin. Ia berharap agar pihak kepolisian berhati-hati dalam menyelesaikan kasus tersebut. Aparat kepolisian pun dianggap tidak berhak menghakimi tulisan yang dibuat oleh wartawan, karena tugas mereka hanya melakukan penyidikan.
“Polisi harus berhati-hati terkait dengan mekanisme (penyelesaian kasus) yang ditempuh. Mereka harus berkoordinasi dengan Dewan Pers dan tidak serta merta memanggil wartawan dan mengarahkan kasus ini pada hoaks,” kata Pito.