JAKARTA, KOMPAS - Penangkapan tuna oleh kapal nelayan di Indonesia dinilai perlu terus dibenahi, baik kapasitas dan daya saing. Pasar internasional semakin menuntut produk berkualitas tinggi dan bersertifikasi, sedangkan penangkapan tuna didominasi oleh kapal-kapal kecil dengan teknologi sederhana.
Komoditas tuna menjadi salah satu unggulan di sektor perikanan. Selama Januari-Oktober 2018, ekspor tuna tercatat 95.750 ton atau 15,41 persen dari total volume ekspor perikanan dengan nilai 498,37 juta dollar AS, sedangan cakalang dan tongkol sebesar 42.150 ton (6,79 persen) senilai 80,43 juta dollar AS.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Zulficar Mochtar, mengemukakan, kontribusi produksi tuna, tongkol dan cakalang (TTC) mencapai 20 persen dari total produksi perikanan nasional. Sekitar 70 persen dari hasil tangkapan tuna, tongkol dan cakalang berasal dari nelayan kecil.
“Ini pencapaian besar, dimana nelayan-nelayan kecil membantu perekonomian dan masa depan perikanan,” katan Zulficar dalam pertemuan dengan nelayan tuna di Jakarta, Rabu (16/1/2019).
Upaya meningkatkan produksi tuna harus tetap menjaga prinsip kelestarian dan keberlanjutan perikanan. Negara-negara tujuan ekspor perikanan kini semakin menuntut standar mutu dan cara penangkapan ikan yang ramah lingkungan. Hal itu perlu diantisipasi dengan pembenahan tata kelola perikanan, termasuk sertifikasi penangkapan ikan.
“Kalau (jumlah) tangkapan bagus tetapi kualitas rendah, handling (penanganan) lemah, tidak terdata, maka pihak luar tidak mau beli. Pihak pembeli sekarang hanya mau makan ikan yang ditangkap dengan cara ramah lingkungan,” katanya.
Tata kelola penangkapan tuna yang berkelanjutan dinilai perlu bekerjasama dengan organisasi pengelolaan perikanan regional (RFMO). Indonesia saat ini tercatat dalam keanggotaan tiga organisasi internasional di bawah RFMO terkait pengaturan penangkapan tuna di laut lepas, yakni Komisi Tuna Samudra Hindia (IOTC), Komisi Perikanan Pasifik Tengah dan Barat (WCPFC), serta Komisi Konservasi Tuna Sirip Biru Selatan (CCSBT).
Kepala Sub Direktorat Sumber Daya Ikan dan Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia dan Laut Lepas KKP, Trian Yunanda mengemukakan, armada perikanan di laut lepas saat ini nyaris tidak ada, sejalan dengan larangan operasional kapal ikan asing. Akan tetapi, terjadi peningkatan hasil tangkapan tuna dari kapal-kapal di wilayah perairan Indonesia.
Kalau (jumlah) tangkapan bagus tetapi kualitas rendah, handling (penanganan) lemah, tidak terdata, maka pihak luar tidak mau beli.
Ia mengakui, saat ini Indonesia belum memenuhi kuota penangkapan tuna mata besar (big eye) sebanyak 5.889 ton per tahun di Samudera Pasifik bagian tengah dan barat. Diperlukan skema khusus untuk mendorong penangkapan tuna dengan prinsip-prinsip ramah lingkungan di laut lepas. “Pekerjaan rumah kita adalah mendorong armada besar dalam negeri untuk mengisi laut lepas,” katanya.
Raih Sertifikasi
Penerapan prinsip perikanan yang berkelanjutan dalam penangkapan tuna antara lain dibuktikan oleh PT Citra Raja Ampat Canning (CRAC), di Sorong, yang mendapat sertifikasi standar emas oleh Marine Stewardship Council (MSC) pada November 2018. Perusahaan itu sekaligus pertama di Indonesia yang meraih sertifikasi MSC. MSC merupakan lembaga swadaya yang menetapkan standar perikanan berkelanjutan di seluruh dunia.
Sertifikasi penangkapan tuna juga didapatkan nelayan kecil di Maluku, berupa sertifikat fair trade sejak 2015. Komoditas tuna yang mendapat sertifikasi fair trade memperoleh harga premium dibandingkan tuna yang tidak tersertifikasi.
Direktur Eksekutif Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI), Saut Tampubolon menyatakan, sertifikasi fair trade untuk tuna mampu didapat oleh nelayan-nelayan kecil dengan kapal ukuran 1-2 gros ton (GT). Selama 2015-2018, nelayan tuna binaan MDPI yang memperoleh sertifikasi fair trade berjumlah 859 nelayan kecil dengan nilai penjualan mencapai Rp 4,5 miliar.
Pihaknya menargetkan nelayan yang memenuhi sertifikasi fair trade untuk tuna akan meningkat dari 859 orang menjadi 1.500 orang tahun ini. Adapun volume tangkapan tuna yang tersertifikasi fair trade juga ditargetkan meningkat dari 1.045 ton menjadi 1.500 ton pada tahun 2020. Selain itu, hasil tangkapan tuna yang menerapkan prinsip ketertelusuran meningkat dari 1.349 ton menjadi 5.000 ton.
Sertifikasi fair trade untuk tuna mampu didapat oleh nelayan-nelayan kecil dengan kapal ukuran 1-2 gros ton
Saldin Bonelalu, Ketua Kelompok Tuna Leisela Indah, di Desa Wamlana, Buru Utara, mengemukakan, nelayan kelompok itu mendapatkan harga jual tuna lebih tinggi Rp 4.000 per kg karena sudah mengantongi sertifikat fair trade. Dari hasil melaut harian, setiap nelayan bisa membawa pulang 2-4 ekor tuna dengan alat pancing handline. Pendapatan kelompoknya mencapai Rp 300 juta dalam kurun 4 tahun.
“Kelebihan nilai jual itu kami kumpulkan untuk tabungan anak, dan kebutuhan kelompok,” katanya.
La Tohia, Ketua Komite Fair Trade Pulau Seram mengemukakan, hasil tangkapan tuna dari kelompok nelayan yang memperoleh sertifikasi fair trade dipasok ke salah satu perusahaan pengolahan untuk diekspor ke Amerika Serikat. Harga jual ikan Rp 54.000 per kg, namun nelayan akan mendapat tambahan dana Rp 4.000 per kg karena ikannya masuk kategori premium.