JAKARTA, KOMPAS — Kendati neraca pembayaran diperkirakan surplus, tetapi defisit transaksi berjalan akan semakin melebar pada level di atas tiga persen dari produk domestik bruto pada akhir 2018. Situasi ini dipengaruhi defisit neraca perdagangan yang semakin dalam akibat tingginya impor migas dan melambatnya ekspor.
Berdasarkan data Bank Indonesia yang dikutip Kompas, Kamis (17/1/2019), defisit transaksi berjalan triwulan I, II, dan III-2018 mencapai 22,4 miliar dollar AS. Angka ini melampaui defisit transaksi berjalan 2015 yang sebesar 17,5 miliar dollar AS, tahun 2016 sebesar 17 miliar dollar AS, dan tahun 2017 sebesar 17,33 miliar dollar AS.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, defisit transaksi berjalan pada triwulan III-2018 cukup tinggi sebesar 8,8 miliar dollar AS atau 3,37 persen PDB. Defisit transaksi berjalan triwulan IV-2018 diperkirakan masih tinggi, tetapi mulai diimbangi arus modal asing yang kembali masuk sekitar 12,5 miliar dollar AS. Arus modal asing itu berupa investasi langsung dan investasi portofolio.
“Kami perkirakan pada triwulan IV-2018, secara keseluruhan neraca pembayaran Indonesia (NPI) surplus 4 miliar dollar AS meskipun defisit transaksi berjalan sementara masih kisaran 8,8 miliar dollar AS,” kata Perry saat rapat kerja bersama Komisi XI DPR di Jakarta, Rabu (17/1/2019).
Secara kumulatif, BI tidak mengubah proyeksi defisit transaksi berjalan tahun 2018 sebesar 3 persen PDB. Defisit transaksi berjalan tahun ini pun ditargetkan 2,5 persen PDB seiring implementasi kebijakan peningkatan ekspor dan pengendalian impor yang tepat sasaran. Impor mulai dikurangi melalui kebijakan jangkar penggunaan biodiesel 20 persen (B20) dan pariwisata.
Perry mengatakan, defisit transaksi berjalan yang lebih rendah dan sinyal pelonggaran kebijakan moneter AS akan mendorong penguatan dan stabilitas nilai tukar rupiah. Pada 2018, depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS sebesar 5,8 persen lebih rendah lebih rendah dibandingkan India 12 persen dan Brazil 14 persen. Sedangkan, cadangan devisa sampai Desember 2018 sebesar 120,7 miliar dollar AS.
Kepala Ekonom dan Riset PT Bank UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja memperkirakan, defisit transaksi berjalan tahun 2018 berkisar 3-3,2 persen PDB. Ketergantungan terhadap ekspor komoditas menjadi pemicu utama. Sebab, jenis komoditas unggulan dan negara tujuan ekspor Indonesia sangat terpengaruh gejolak ekonomi global.
Ekspor komoditas unggulan, misalnya, minyak sawit terkendala peningkatan bea masuk oleh India dan batu bara ke China terhambat dampak perang dagang. Beberapa komoditas ekspor unggulan ke AS juga terancam penghapusan keistimewaan tarif preferensial (GSP). “Pasar ekspor sangat menantang. Pemerintah mesti fokus menarik investasi asing langsung berorientasi produk bernilai tambah,” kata Enrico.
Ekspor komoditas unggulan, misalnya, minyak sawit terkendala peningkatan bea masuk oleh India dan batu bara ke China terhambat dampak perang dagang.
Menurut Enrico, tidak ada aturan yang melarang defisit transaksi berjalan di atas 3 persen, tetapi harus dibarengi stabilitas kurs rupiah. Proyeksi defisit yang sebesar 3 persen agar rupiah tidak terlampau di bawah nilai fundamentalnya. Defisit transaksi berjalan yang besar bisa dinilai sebagai upaya penyesuaian di tengah gejolak ekonomi global.
Defisit lebih rendah
Enrico menambahkan, defisit transaksi berjalan seharusnya bisa lebih rendah tahun 2019 karena strategi pengendalian impor dan peningkatan ekspor sudah terimplementasi. Jika defisit membesar, maka implementasi kebijakan belum optimal dan harus segera dievaluasi ulang. Selain impor barang konsumsi, impor barang modal infrastruktur mesti direm pada paruh pertama tahun 2019.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Pieter Abdullah Redjalam mengatakan, defisit transaksi berjalan bisa ditekan 2,5 persen PDB jika neraca perdagangan surplus. Sedangkan, neraca perdagangan pada triwulan IV-2018 defisit 4,95 miliar dollar AS.
Neraca perdagangan Indonesia pada Januari-Desember 2018 defisit 8,57 miliar dollar AS dan merupakan yang terdalam sejak tahun 1975. Defisit terjadi karena impor mencapai 188,62 miliar dolllar AS, sementara ekspor sebesar 180,06 miliar dollar AS.
Pieter berpendapat, defisit perdagangan mendorong defisit transaksi berjalan triwulan IV-2018 semakin lebar berkisar 11-12 miliar dollar AS dengan rincian defisit jasa 1-2 miliar dollar AS, defisit pendapatan sekunder 1-2 miliar dollar AS, serta defisit pendapatan primer 7-8 miliar dollar AS. “Kuncinya harus bisa memperbaiki neraa perdagangan,” katanya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menuturkan, struktur neraca transksi berjalan dan neraca perdagangan yang masih defisit menjadi tantangan tahun 2019. Kebijakan pengendalian 1.147 barang konsumsi impor akan terus dioptimalkan. Selain itu, Bea Cukai akan secara konsistem mengevaluasi dampak kebijakan B20.
Sebelumnya, pemerintah merilis lima kebijakan untuk peningkatan daya saing ekspor dalam kurun 1-3 tahun yang terdiri dari perbaikan iklim usaha melalui sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik (online single submission/OSS), fasilitas insentif perpajakan, program vokasi, penyederhanaan prosedur untuk mengurangi biaya ekspor, dan pemilihan komoditas unggulan.