Dua Bulan, Ribuan Batang Merbau Ilegal Keluar dari Tanah Papua
SURABAYA, KOMPAS – Penyelundupan kayu ilegal dari Papua kembali terjadi. Kali ini jumlahnya mencapai 199 kontainer di Pelabuhan Peti Kemas Teluk Lamong, Surabaya, Jawa Timur. Ini menambah deretan total 384 kontainer serupa yang ditahan Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada bulan Desember 2018 – Januari 2019.
Perhitungan secara kasar 1 pohon merbau siap tebang (ukuran diameter lebih dari 30 centimeter) bisa menghasilkan 4 – 5 meter kubik. Bila satu kontainer rata-rata terdapat 20 meter kubik kayu, total kayu yang disita diperkirakan mencapai lebih dari 7.000 meter kubik.
Artinya terdapat lebih dari 1.500 pohon merbau yang ditebang melanggar ketentuan. Jenis kayu premium yang memiliki corak bagus serta keawetan dan kekerasan tinggi ini tahan ketika direndam di air, karenanya sering digunakan sebagai pondasi dermaga kayu maupun perahu.
Tidak hanya merugikan negara, pembalakan liar ini mengancam kehidupan warga karena fungsi hutan sebagai sumber makan, obat, dan penangkap air hilang.
Dari operasi ini, aparat penegakan hukum KLHK di Sorong Papua Barat dan Jayapura, Papua memeriksa 17 perusahaan sumber kayu. Diakui KLHK, temuan dalam operasi penyelamatan sumberdaya alam Papua ini merupakan fenomena gunung es. Diperkirakan jumlah kayu ilegal yang telanjur merembes jauh lebih banyak
Dalam ekspos penyitaan terbaru 199 kontainer di Teluk Lamong Surabaya, Rabu (16/1/2019), kayu-kayu tersebut masih tampak basah dan mengeluarkan getah. Aroma kayu merbau yang khas pun menyeruak ketika pintu kontainer dibuka petugas.
Di dalam kontainer tampak tumpukan kayu berupa papan-papan yang dipotong secara kasar. Ukuran tebal kayu pun bervariasi, 5-15 centimeter. Tampilan ini menunjukkan kayu diolah langsung di dalam hutan, bukan diolah di pabrik yang hasil akhir kayu olahan jauh lebih rapi atau terstandar.
Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani, Rabu di Surabaya, mengatakan, penebangan ilegal ini diketahui dari ketidaksesuaian dokumen dengan isi kontainer. Penyitaan ini pun didasarkan pada audit kepatuhan terkait penyelamatan sumber daya alam Papua tahun lalu terhadap pemegang izin usaha pemanfaatan hutan hasil kayu–hutan alam (IUPHHK-HA).
Baca juga: KLHK Kembali Menyita 199 Kontainer Berisi Merbau Papua
Dari audit tersebut terungkap rencana penebangan kayu jauh lebih kecil dibandingkan data manifes pengiriman kayu. Meski belum mengungkap jumlah kerugian negara dan kerugian lingkungan, ia menyebutkan nilai kayu-kayu illegal ini mencapai Rp 120 miliar.
“Tidak hanya merugikan negara, tapi pembalakan liar yang menyebabkan kerusakan hutan ini mengancam kehidupan warga karena fungsi hutan sebagai sumber makan, obat, dan penangkap air hilang. Bencana banjir terjadi saat musim hujan dan kekeringan saat musim kemarau,” kata dia.
Bagi dunia usaha, penyelundupan ini dinilai merusak citra industri mebel dan kerajinan di Jawa Timur maupun sekitarnya. Aparat penegak hukum diminta menindak tegas semua pelaku yang terlibat mulai dari hulu hingga hilir.
Perusahaan diduga masih nekat menebang kayu meski terdapat temuan hasil tebangan lebih tinggi dari rencana tebang.
Ketua Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (Himki) Provinsi Jawa Timur Nur Cahyudi mengatakan, pihaknya mendorong pengungkapan kasus pengiriman kayu merbau ilegal ke Surabaya. Penindakan juga harus dilakukan kepada perusahaan-perusahaan yang menerima kayu ilegal tersebut.
“Pengungkapan kasus kayu merbau ilegal hingga tuntas untuk meyakinkan konsumen di dalam dan luar negeri bahwa industri kayu di Jatim tidak menggunakan kayu curian, namun berdasarkan kayu yang jelas asal usulnya,” kata Nur.
Menurut dia, terungkapnya pengiriman 384 kontainer berisi kayu merbau ilegal dari Papua dan Papua Barat ke Surabaya dikhawatirkan merusak citra pelaku industri mebel dan kerajinan di Jatim. Padahal, pengguna kayu ilegal tersebut hanya beberapa oknum yang tidak bertanggung jawab. Pelaku industri mebel dan kerajinan yang berada di naungan Himki - klaimnya - hanya memproduksi kayu yang jelas asal-usulnya.
“Sertifikat asal-usul di bisnis kayu sangat ketat. Produk kayu olahan bisa dilacak legalitasnya untuk menghindari praktik perusakan lingkungan. Semua harus mengantongi sertifikat Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK),” ucap Nur.
Oleh sebab itu, Himki meminta aparat penegak hukum mengungkap kasus ini hingga ke pengguna kayu ilegal. Jangan sampai praktik yang dilakukan segelintir oknum merusak citra ribuan industri kayu di Jatim yang bisa berakibat pada kekhawatiran konsumen di dalam dan luar negeri.
Dinamisator Nasional Jaringan Pemantau Independen Kehutanan, Muhammad Ichwan, mendorong agar kasus penyelundupan kayu hasil pembalakan liar ini diusut tuntas. Setiap pihak yang terkait seperti pengirim, oknum aparat, pengelola pelabuhan, ekspedisi pelayaran, surveyor, hingga perusahaan penerima agar diperiksa secara cermat dan hasilnya dipublikasikan.
Dari pengalaman hasil pengusutan sementara 40 kontainer pada awal bulan Desember 2018 di Tanjung Perak, Surabaya, ia menyebutkan dua tersangka korporasi penadah kayu illegal tersebut telah memiliki sertifikat legalitas kayu. Ia mempertanyakan pihak auditor atau lembaga verifikasi serta mendesak KLHK berkoordinasi dengan Komite Akreditasi Nasional (KAN) untuk mengusut hal ini.
“Kalau dilihat dari fisik kayu merbau yang masih basah dan keluar getah kehitam-hitaman, kayu itu baru sekitar satu bulan ditebang dari hutan,” ucap Ichwan. Padahal, audit yang dilakukan KLHK telah dilakukan sejak November 2018. Artinya, perusahaan diduga masih nekat menebang kayu meski terdapat temuan hasil tebangan lebih tinggi dari rencana tebang.
Menurut dia, tiga daerah di Jatim, yakni Surabaya, Gresik, dan Pasuruan merupakan wilayah risiko tinggi peredaran kayu ilegal. Selain dekat dengan akses pelabuhan, wilayah itu terdapat sentra industri pengolahan kayu. Dari sekitar 800 perusahaan kayu olahan, sekitar 300 di antaranya berorientasi ekspor.
[playlist type="video" ids="113895221"]
Kepala Otoritas Pelabuhan Utama Tanjung Perak, Hernadi Tri Cahyanto, menambahkan, pihaknya kesulitan memantau isi barang yang dikirim menggunakan kontainer. Otoritas pelabuhan tidak memiliki kewenangan untuk mengawasi dan membongkar kontainer secara langsung ketika sudah disegel pihak ekspedisi.
“Pengawasan sebuah barang seharusnya dilakukan sejak barang berada di depo gudang pelabuhan asal sebelum disegel dalam petikemas. Kalau sudah masuk pelabuhan, yang dicek hanya dokumennya,” kata Hernadi.
Saat ini, Ditjen Gakkum KLHK menyita 384 kontainer berisi kayu merbau ilegal dari Papua dan Papua Barat. Pengungkapan dilakukan dalam empat kali operasi. Operasi pertama dilakukan 8 Desember 2018 yang menyita 40 kontainer di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Selanjutnya, operasi kedua pada 4 Januari 2019 kembali mengendapkan 88 kontainer di Tanjung Perak.
Pada 5 Januari 2019, Ditjen Gakkum KLHK menahan 57 kontainer kayu ilegal di Pelabuhan Soekarno-Hatta, Makassar yang akan dikirim ke Surabaya. Terkini, 7 Januari 2019, Gakkum LHK bersama dengan Komando Armada II (Detasemen Intelijen) dan Bareskrim Polri menyita 199 kontainer kayu ilegal yang diangkut KM Selat Mas (TEMAS) di Pelabuhan Teluk Lamong, Surabaya.