Dua Warga China Sudah 112 Hari Terdampar di Bandara Taiwan
Oleh
Ayu Pratiwi
·3 menit baca
Dua warga China, Liu Xinglian dan Yan Kefen, hingga Kamis (17/1/2019) atau sudah 112 hari, masih terjebak di Bandar Udara Internasional Taoyuan, Taipei, Taiwan. Keduanya mengaku aktivis politik yang dipersekusi oleh otoritas China.
Dalam upaya memperoleh dukungan dan izin suaka dari negara ketiga, mereka mengunduh pesan tertulis melalui akun Twitter @yanbojun setiap hari. ”Kami adalah pengungsi politik yang dipersekusi oleh otoritas China. Kami berada dalam situasi berbahaya ketika menunggu izin suaka di Thailand. Kami harus melarikan diri ke Taiwan dan tinggal di bandara,” tulisnya.
Sayangnya, seruan itu belum memperoleh banyak perhatian atau rasa solidaritas dari dunia internasional. Mereka pernah menyampaikan permohonan suaka di Kanada dan mengunduh perkembangannya melalui media sosial. Hingga sekarang, permohonan itu belum mendapatkan respons.
Taiwan memiliki status internasional yang tidak biasa. Taiwan sebagai sebuah negara tidak diakui oleh banyak negara. Taiwan juga tidak memiliki perwakilan dalam organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Artinya, Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR) tidak beroperasi di Taiwan.
Sejumlah sumber juga menyatakan, Taiwan tidak punya undang-undang yang mengurus atau melindungi pengungsi. Dikabarkan pula, dalam beberapa tahun terakhir, Pemerintah Taiwan enggan mengizinkan suaka kepada warga China yang melarikan diri dari otoritas China karena khawatir membuat Beijing marah atau mengundang aliran pengungsi ke wilayahnya.
Presiden Taiwan Tsai Ing-wen, yang dikenal cukup sering melawan Beijing dan memperjuangkan hak asasi manusia, hingga sekarang belum menindaklanjuti permohonan bantuan Liu dan Yan.
”Di dalam bandara, kami tidak bisa menghirup udara segar dan tidak ada sinar matahari. Kami makan dari boks makanan yang disediakan maskapai penerbangan. Itu tidak terlalu sehat, kan?” kata Liu, Rabu (16/1/2019).
Yan tiba di Taiwan pada 2015 dan Liu pada 2017. Mereka berhasil memperoleh status pengungsi dari UNHCR dan diberikan tempat mengungsi di Thailand. Namun, beberapa saat setelah itu, mereka sering dikunjungi oleh kepolisian setempat sehingga merasa hidup mereka terancam.
”Saya merasa hidup saya terancam di Thailand. Saya takut polisi Thailand akan mendeportasi saya kembali ke China,” ucap Yan. Untuk menyelamatkan diri, mereka pergi ke Taiwan dan terjebak di sana sejak lebih dari tiga bulan.
”Kami tidak ingin merepotkan Taiwan. Kami harus menunjukkan kisah kami melalui Facebook dan Twitter agar kami tidak dilupakan,” ujar Yan.
Dewan Urusan Daratan Taiwan mengakui, sistem penanganan pengungsi mereka belum memadai. Meskipun demikian, mereka tetap menggarisbawahi komitmen untuk membela hak asasi manusia serta keselamatan Liu dan Yan.
Sistem penanganan pengungsi
Nasib Liu dan Yan sangat berbeda dengan nasib Rahaf Mohammad al-Qunun, perempuan remaja Arab Saudi. Ia melarikan diri dari orangtuanya di Arab Saudi pada 5 Januari 2019, yang diklaimnya telah melakukan tindakan kekerasan kepadanya.
Perjalanan Rahaf, sejak ditahan di Thailand hingga mendapatkan izin suaka di Kanada, didukung secara masif oleh warga internet dan diliput banyak media. Semua itu berlangsung selama sekitar dua minggu. Seperti Liu dan Yan, Rahaf sangat aktif mendokumentasikan proses pengungsiannya di Twitter.
Sabtu (12/1/2019), Rahaf tiba di Toronto, Kanada, dan disambut Menteri Luar Negeri Kanada Chrystia Freeland. Di tengah banyaknya konflik yang terjadi di dunia, kisah Rahaf memberikan harapan dan inspirasi tentang nilai moral kemanusiaan.
Di sisi lain, kisah inspiratif Rahaf juga mengundang sejumlah kritik mengenai sistem penanganan pengungsi di Kanada. Thomas Walkom, pengamat hubungan internasional, menyampaikan sejumlah renungan mengenai peristiwa itu melalui tulisan yang dipublikasikan di Thestar.
”Keputusan Pemerintah Liberal Kanada untuk memberikan status pengungsi—tanpa melalui antrean yang panjang—kepada Rahaf tidak bijaksana. Ini menegaskan bahwa sistem pengungsi tidak adil, didorong oleh politik, dan terbuka untuk dimanipulasi,” tulis Thomas.
”Apakah Rahaf akan diterima di Kanada apabila ia seorang remaja Rohingya yang tidak memiliki akun media sosial dan mencoba melarikan diri dari serangan di Myanmar?” lanjutnya.
Konsulat Kanada di Hong Kong tidak memberikan komentar mengenai kasus Liu dan Yan ketika ditanyai AFP untuk alasan privasi. Untuk sementara, Liu dan Yan hanya bisa menunggu. Mereka berharap dapat pergi dari bandara itu sebelum Tahun Baru China. (AFP)