Gula Rafinasi Dijual di E-Dagang, Polisi Siap Bertindak
Oleh
Khaerudin
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Penjualan gula rafinasi seharusnya hanya diperuntukkan bagi industri makanan dan minuman. Namun, faktanya gula rafinasi masih beredar di masyarakat, bahkan hingga ke situs perdagangan elektronik atau e-dagang.
“Dari hasil pengawasan beberapa waktu lalu, kami menemukan adanya penjualan gula rafinasi di situs e-dagang. Setelah diselidiki, penjual berasal dari industri makanan dan minuman di daerah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Yogyakarta, serta daerah Jawa Tengah,” kata Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan Veri Anggriono Sutiarto, di Jakarta, Kamis (17/1/2019).
Hasil pengawasan ini disampaikan dalam “Sosialisasi Hasil Pengawasan Direktorat Jenderal PKTN 2018”. Veri menyebut, ada sekitar lima hingga enam pelaku usaha dari industri makanan dan minuman yang melanggar aturan.
Ketentuaan mengenai peredaran gula rafinasi diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 74/M-DAG/PER/9/2015 2015 tentang Perdagangan Antarpulau Gula Kristal Rafinasi (GKR). Dalam pasal 3 dikatakan, GKR hanya dapat diperdagangkan kepada industri pengguna sebagai bahan baku dan dilarang diperjualbelikan di pasar eceran.
Selain itu, dalam Pasal 11 ayat 2 juga dikatakan, industri pengguna dilarang menjual GKR yang didistribusikan oleh produsen GKR. Apabila melanggar, maka dalam Pasal 20 dikatakan, indutri pengguna akan dikenakan sanksi pencabutan izin usaha oleh pejabat yang berwenang berdasarkan rekomendasi Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Arief Sulistyanto mengatakan polisi bakal menindak jika ada pelanggaran dalam beredarnya gula rafinasi di pasaran, termasuk yang dijual bebas melalui platform e-dagang. Saat ini lanjut Arief, polisi tengah mengecek informasi ihwal penjualan gula rafinasi secara daring.
"Satgas Pangan sedang mengoordinasikan masalah kebutuhan gula di pasar dan kebijakan pemenuhan gula untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Beredarnya gula rafinasi dan dijual melalui bisnis online sedang dilakukan pengecekan. Kalau ada pelanggaran dan membahayakan kesehatan masyarakat akan dilakukan penindakan tanpa menimbulkan gangguan pemenuhan kebutuhan gula di masyarakat," ujar Arief.
Beredarnya gula rafinasi dan dijual melalui bisnis online sedang dilakukan pengecekan. Kalau ada pelanggaran dan membahayakan kesehatan masyarakat akan dilakukan penindakan
Menurut Arief, beberapa waktu sebelumnya polisi telah menindak beredarnya gula rafinasi di pasaran yang melanggar ketentuan hukum. Termasuk menindak pemalsuan DO (delievery order) atau bukti pengiriman gula rafinasi yang mengakibatkan peredaran gula tersebut di pasaran. "Dua bulan lalu kami juga sudah melakukan penindakan di Banten," ujar Arief.
Lebih lanjut, Veri menjelaskan bahwa hal ini terjadi karena lemahnya pengawasan. Industri gula rafinasi menjual gulanya hanya didasarkan pada dokumen izin pembelian. Ternyata, dalam dokumen tersebut, industri makanan dan minuman menambah kuota pembelian gula rafinasi di atas kebutuhan dari kapasitas produksi.
“Misalnya, kebutuhan gula rafinasi dari satu industri makanan dan minuman sebesar 1.000 ton. Namun, mereka tuliskan dalam dokumen pembelian menjadi 1.500 ton. Kelebihannya inilah yang akhirnya rembes ke pasaran, yang mereka jual lewat e-dagang,” ujar Veri.
Veri menyampaikan, pihaknya sudah memberikan instruksi kepada industri gula rafinasi untuk lebih cermat ketika menjual gulanya. “Kami katakan kepada mereka, kalau menjual produk jangan hanya melihat dari dokumen saja, tapi coba dicek ke lapangan, luangkan waktu periksa industrinya, berapa kebutuhan mereka sebenarnya,” paparnya.
Pantauan Kompas di sejumlah situs e-dagang, penjualan gula rafinasi dengan mudah dapat diakses dan dibeli oleh masyarakat. Gula rafinasi dijual dalam bentuk karungan dengan berat 50 kilogram. Harga yang dicantumkan pun dibawah harga yang ditetapkan pemerintah, yaitu Rp 8.900 per kilogram.
Menanggapi keadaan ini, Ketua Umum Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (Aptri) Soemitro Samadikoen menyampaikan, merembesnya gula rafinasi ke pasaran, bahkan hingga ke situs e-dagang merupakan akibat dari persoalan di hulu. Impor gula mentah untuk keperluan industri jauh di atas kebutuhan.
“Hal ini berarti kuota impor bagi gula mentah untuk industri tidak diperhitungkan dengan baik. Akibatnya, kelebihan gula rafinasi dilempar ke pasaran. Selain membuat para petani gula merugi, kredibilitas pemerintah juga patut dipertanyakan,” kata Soemitro.
Berdasarkan data BPS, sejak 2013 hingga 2017, impor gula mentah meningkat sebanyak 7,91 persen. Selain itu, realisasi impor gula mentah dari Januari hingga November 2018 mencapai 2,96 juta ton dari alokasi impor mencapai 3,6 juta ton hingga akhir tahun 2018. (Kompas, 10 Januari 2019)
Untuk kuota impor gula mentah bagi kebutuhan industri di tahun 2019, Kementerian Perdagangan menyatakan kebutuhan mencapai 2,8 juta ton. Meski kuota menurun dibandingkan tahun 2018, Soemitro menilai, jumlah ini masih terlalu tinggi.
“Adanya rembesan gula rafinasi di pasaran membuktikan kebutuhan industri makanan dan minuman tidak sebanyak itu. Pemerintah seharusnya tidak gegabah dalam menentukan kuota impor. Analisa dahulu stok dan kebutuhan kita,” kata Soemitro. (SHARON PATRICIA)