SIEM REAP, KOMPAS - Untuk tingkatkan kerja sama ekonomi dengan pemerintah Kamboja, pemerintah Indonesia di antaranya menawarkan penjualan produksi gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) untuk pembangkit listriknya. Tawaran tersebut diharapkan dapat mengganti bahan bakar minyak diesel yang selama ini digunakan di Kamboja. Dari 90 persen perusahaan swasta pengelola listrik, 20 persen di antaranya dikelola pemerintah Kamboja dan masih menggunakan bahan bakar minyak.
Wakil Presiden Jusuf Kalla saat memberikan keterangan pers di akhir kunjungan kerjanya di Kamboja, Rabu (16/1/2019) mengatakan, pemerintah Kamboja melalui Pelaksana Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Kamboja juga sudah bertemu dengan Menteri ESDM Ignasius Jonan kemarin.
Dalam pertemuan tersebut, Jonan didampingi Komisaris Utama PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk, IGN Wiratamadja Puja, dan seorang direksi lainnya. Menindaklanjuti hal tersebut, PT Perusahaan Gas Negara (PGN) dijadwalkan bertemu secara business to businessdengan perusahaan gas negara Kamboja, Kamis (17/1/2019).
“Mereka (pemerintah Kamboja) juga minta, bagaimana meningkatkan kerja sama ekonomi kita, karena setelah pertemuan kemarin (Selasa), Menteri ESDM dan tim dari PGN akan melanjutkan perundingan di Phnom Pen mengenai bagaimana kita dapat menjual LNG ke sini,” ujar Wapres Kalla.
Menurut Jonan, selama ini, pembangkit listrik di Kamboja memang belum menggunakan LNG, melainkan baru memakai LPG (liquified petroleum gas/LPG). “Kalau pandangan kami, kita lihat perusahaan listrik di sini, sekitar 90 persen dikelola swasta, dan yang dikelola pemerintah 20 persen. Mereka sebagian besar menggunakan pembangkit listrik yang menggunakan minyak diesel sampai 200 MW, sebanyak 1000 MW berbahan batu bara, dan sisanya air atau hydro. LNG belum ada. Jadi, kami tawarkan kalau mau minyak diesel diganti gas, PGN bersedia investasi,” ujar Jonan.
Apabila kerja sama tersebut diterima perusahaan Kamboja, tambah Jonan, PGN akan membangun fasilitas regasifikasi atau pembangunan pipa gas, yang bisa disalurkan ke industri atau pun ke pembangkit listrik di Kamboja.
Farmasi
Kemarin, Wapres Kalla didampingi Jonan, Wakil Menteri Luar Negeri AM Fachir beserta anggota rombongan lainnya juga bertemu secara khusus dengan Perdana Menteri Kamboja Hun Sen beserta sejumlah menteri. Dalam usia 60 tahun hubungan kedua negara tahun ini, Wapres Kalla mengatakan, Hun Sen meminta investor Indonesia masuk dalam investasi di Kamboja. Hal itu karena neraca perdangan Indonesia dengan Kamboja terjadi surplus untuk Indonesia hingga sekitar 450 juta dollar AS.
Sejauh ini, investor farmasi dari Indonesia sudah masuk dalam bisnis obat di Kamboja. “Setelah farmasi, gas dan investasi lain juga akan masuk ke Kamboja,” ujar Wapres Kalla.
Bahkan, menurut Duta besar RI untuk Kamboja, Sudirman Haseng, salah satu perusahaan farmasi Indonesia, Dexa Farma juga sudah ekspansi bisnis dengan mengakuisisi perusahaan distributor obat terbesar di Kamboja. “Selain distribusi obat-obatan, juga nantinya distribusi produk-produk barang Indonesia akan bisa dijual sehingga terbuka komoditas lainnya,” kata Makarim Wibisono.