“Kita Bhinneka, kita Indonesia !!!” teriak kumpulan pelajar dan mahasiswa itu serentak. Sekat-sekat perbedaan agama maupun suku runtuh tepat setelah mereka selesai melafalkan kalimat itu. Jargon itu berulang kali diserukan, mengiringi perjalanan mereka berpindah dari satu rumah ibadah ke rumah ibadah yang lain.
Sekitar 150 pelajar dan mahasiswa dari berbagai sekolah menengah atas dan perguruan tinggi di Jakarta, Kamis (17/1/2019) berhimpun sebagai peserta wisata Bhinneka. Wisata lintas rumah ibadah tersebut diadakan oleh Wisata Kreatif Jakarta. Para peserta memang berasal dari berbagai agama dan suku, tetapi tujuan mereka ikut acara tersebut sama yakni mengenal agama dan rumah ibadah penganut agama lain.
Titik kumpul pertama mereka adalah Gereja Protestan Indonesia bagian Barat (GPIB) Immanuel Jakarta Pusat. Di gereja yang dibangun sejak abad-18 tersebut para peserta diajak berkeliling sambil mengenal bagian-bagian gereja. Setelah puas berkeliling, mereka dikumpulkan di dalam gereja untuk mengikuti sesi tanya jawab seputar agama Kristen dan Katolik.
Setelah selesai berdinamika di GPIB Immanuel, para peserta diarahkan untuk menuju Gereja Katedral Jakarta. Gereja yang diresmikan pada tahun 1901 tersebut memiliki gaya arsitektur neo-gotik ala bangunan Eropa. Hal itu menggugah keinginan para peserta untuk mengabadikan keindahan bangunan dengan kamera ponsel mereka.
Rana Nesia (18), salah satu peserta peserta wisata Bhinneka dari Universitas Indraprasta PGRI mengaku senang bisa berkunjung ke gereja itu. Ini adalah kali pertama Rana berkunjung ke tempat ibadah agama lain.
“Selama ini, saya berpikir bahwa pergi ke rumah ibadah agama lain itu dilarang. Meski sebenarnya saya penasaran dengan agama lain, tapi keinginan untuk memahami agama lain selalu saya tepis,” ucap Rana sembari membetulkan jilbabnya yang tertiup angin.
Penyuluh Agama Katolik Kementerian Agama Jakarta Pusat, Anton Sinaga mengatakan, ketakutan untuk mengenal budaya dan agama lain hendaknya tidak dibiarkan berkembang. Sebab, pemahaman satu sama lain adalah modal untuk melawan konfik budaya dan agama. Cara paling mudah yang bisa dilakukan adalah berkomunikasi.
“Negara kita memang kaya akan keragaman. Hal itu sebaiknya kita syukuri dan kita pahami,” kata Anton.
Harmonisasi
Sekitar pukul 12.00 WIB, azan berkumandang. Para peserta yang sudah selesai berkeliling di Gereja Katedral mulai berpindah menuju Masjid Istiqlal. Sebab, sebagian dari mereka harus menunaikan ibadah salat.
Dalam Kompas (19/7/2018), disebutkan masjid ini diresmikan pada 22 Februari 1978 oleh Presiden Soeharto. Di awal kemerdekaan, Soekarno menginginkan Indonesia memiliki masjid yang megah, besar, indah, dan tahan hingga 1.000 tahun ke depan. Setelah mengadakan Sayembara untuk merancang masjid pada Februari hingga Maret 1955, tim juri memutuskan arsitek Friedrich Silaban yang beragama Kristen sebagai pemenangnya. Kini, masjid itu menjadi masjid terbesar di Asia Tenggara.
“Masjid Istiqlal ini menjadi salah satu bukti kerukunan antar umat beragama. Selain dirancang oleh arsitek nasrani, letaknya juga dibuat berhadapan dengan gereja katolik. Kedua rumah ibadah ini hanya dipisahkan oleh jalan yang diberi nama Harmoni,” ujar Maria Sri Utami. salah satu pemandu wisata Bhinneka. Pemberian nama harmoni diharapkan bisa menciptakan harmonisasi di kawasan tersebut.
Ketika Utami selesai berucap, Nur Aisyah Rahayu (15), salah satu peserta dari SMA Kristen II Penabur Jakarta itu tersenyum. Aisyah bercerita kedamaian menyelimuti hatinya kala itu.
Aisyah merupakan salah satu siswi beragama Islam yang bersekolah di SMA Kristen II Penabur Jakarta. Sebagai kelompok minoritas, Aisyah tidak pernah mendapatkan kendala. Sebab, lingkungan sekolahnya sangat terbuka dengan perbedaan, baik agama maupun suku.
“Di sekolah ini saya bisa berteman dengan siapa pun. Teman-teman dan guru memperlakukan saya sama, tidak membeda-bedakan meskipun kami berbeda-beda,” tutur Aisyah.
Siswa SMA Kristen II Penabur Jakarta lainnya, Nicholas Vincent (16) menuturkan, di sekolahnya perbedaan dianggap sebagai hal yang biasa. Vincent prihatin dengan kondisi bangsa yang rentan konflik karena perbedaan agama, suku bahkan pilihan politik.
“Yang namanya perbedaan itu biasa. Kita tidak bisa memaksakan orang lain untuk sama dengan kita. Sikapi dengan pemikiran yang terbuka,” kata Vincent.
Implementasi
Penggagas wisata Bhinneka, Ira Lathief mengatakan, kegiatan ini dilakukan untuk mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam kegiatan sehari-hari. Jika selama ini para peserta baru mendapatkan teori terkait kebhinnekaan di sekolah atau di kampus, kali ini para peserta diajak mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila itu secara langsung.
“Awalnya kami prihatin dengan meningkatnya ekslusivitas atas nama agama di provinsi DKI Jakarta. Hal itu yang membuat kami merasa perlu melakukan tindakan yang konkret. Kami ingin menguatkan kembali toleransi antar umat beragama dan wawasan kebangsaan melalui cara yang rileks, salah satunya melalui kegiatan wisata,” ujar Ira.
Berdasarkan Indeks Kota Toleran (IKT) tahun 2018 yang dirilis oleh Setara Institute, Jakarta masuk peringkat sepuluh terbawah. Sepuluh kota yang masuk dalam sepuluh terbawah antara lain, Sabang, Medan, Makassar, Bogor, Depok, Padang, Cilegon, Jakarta, Banda Aceh, dan Tanjung Balai. Untuk meningkatkan rasa toleransi kegitan yang melibatkan interaksi antar umat beragama menurut Ira perlu lebih banyak dilakukan.
Kegiatan wisata Bhinneka ini sudah diadakan sejak tahun 2017. Sebelumnya peserta yang terlibat dalam skala kecil dan berbayar. Namun, wisata Bhinneka kali ini gratis dan diikuti lebih banyak orang. Ira berharap kegitan seperti ini banyak ditiru oleh daerah-daerah lain.
Pekik “Kita Bhinneka, kita Indonesia” kembali terdengar sesaat sebelum rombongan peserta meninggalkan Masjid Istiqlal. Para peserta melanjutkan wisata Bhinneka ke tempat ibadah terakhir yakni Kelenteng Sin Tek Bio atau yang dikenal dengan Vihara Dharma Jaya.
Kedatangan rombongan disambut dengan aroma wangi dari dupa-dupa yang dibakar saat umat Konghucu beribadah. Beberapa patung dewa yang ada di dalam kelenteng membuat peserta wisata Bhinneka berdecak kagum. Salah satu yang menjadi favorit peserta adalah patung Buddha Maitreya atau Buddha Tertawa. Sebab, antran untuk berfoto dengan patung Buddha Tertawa paling panjang dan paling ramai. Wisata Bhinneka hari akhirnya itu ditutup dengan seruan jargon dan tawa lebar, selebar tawa patung Budha tertawa.