PALU, KOMPAS -- Dalam pembangunan infrastruktur pascabencana di Palu, Sigi, dan Donggala, Sulawesi Tengah, kehadiran komponen alam dinilai penting untuk menunjang mitigasi bencana di daerah pesisir pantai. Komponen alam harus dipadukan dengan komponen buatan, berupa tanggul di pantai
"Pembangunan infrastruktur pascabencana di daerah ini perlu memperhatikan keseimbangan komponen alam dan buatan," ucap Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo dalam rapat koordinasi Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah, Palu, Kamis (17/1/2019).
Komponen alam itu dapat berupa kawasan vegetasi di pesisir pantai. Doni meminta tiap pemangku kebijakan terkait untuk mengaji dan memilih pohon yang cocok menjadi vegetasi alam, misalnya jenis ketapang, mahoni, atau waru.
Pohon-pohon tersebut sebaiknya memiliki akar yang saling mengikat agar kuat menahan gelombang tsunami. Selain itu, Doni juga mengimbau untuk memulai kajian pembangunan tempat berlindung atau shelter tsunami yang bersifat alami, dengan memanfaatkan pepohonan.
Terkait dengan pembangunan vegetasi di kawasan pesisir pantai, Kepala Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Sulawesi Tengah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Arie Setiadi Moerwanto memaparkan, pihaknya akan mengombinasikan sejumlah komponen ruang dan wilayah. Rencananya, di pesisir pantai akan dibangun tanggul yang diikuti oleh kawasan vegetasi dan ruang terbuka hijau.
Di sisi lain, Ahli Tsunami Kementerian Kelautan dan Perikanan Abdul Muhari menyarankan, sebaiknya kawasan lepas pantai langsung ditanami pepohonan sebagai benteng alami. Vegetasi itu berada di sepanjang 50 - 75 meter dari bibir pantai ke arah ruang aktivitas masyarakat yang bersifat strategis.
Antara ruang aktivitas masyarakat dan vegetasi alam tersebut diberi jarak sekitar 1,5 meter. Selain itu, Abdul mengatakan, sebaiknya vegetasi alam tersebut juga dibuat undakan atau bukit buatan untuk memenuhi kebutuhan air pepohonan.
Abdul berpendapat, keberadaan tanggul masih harus memperhatikan kerentanan tanah di pinggir pantai. Risiko longsor bawah laut berpotensi meruntuhkan tanggul tersebut.
Sementara itu, Ketua Mangrover, kelompok pencinta mangrove, Teluk Palu, Ismail tetap menyatakan ketidaksetujuannya terkait rencana pembangunan tanggul yang dikombinasi dengan vegetasi alami. "Kenapa tidak mangrove saja. Itu lebih murah dan terbukti bisa menahan terjangan tsunami. Jangan menghambur-hamburkan uang," kata Ismail.
Rujukan ketahanan mangrove terhadap tsunami nyata di Kelurahan Kabonga Besar, Kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala. Saat tsunami lalu permukiman yang dilindungi mangrove, berupa bakau tak banyak rusak karena tsunami. Di RW O1 yang hutan mangrovenya tebal rumah-rumah tak ada yang rusak sedikitpun. Korban jiwa juga tak ada. Tsunami diredam hutan mangrove.
Ismail menyatakan kalau vegetasi nonmangrove yang ditanam hal itu belum tentu mampu meredam tsunami. Mangrove, terutama bakau memiliki karakter khusus untuk menahan terjangan tsunami, terutama pada akar dan dahan-dahannya yang tumbuh rimbun dan berdekatan sepanjang batangnya.