Jembatan Penyeberangan Multiguna Tanah Abang, Jakarta Pusat, sebagai tempat relokasi pedagang kaki lima memberikan suasana berdagang yang lebih nyaman. Namun, beberapa pedagang mengkhawatirkan berkurangnya pendapatan yang signifikan.
Ratusan kios yang berderet di Jembatan Penyeberangan Multiguna (JPM) Tanah Abang telah dipenuhi pedagang kaki lima (PKL) dengan aneka barang dagangan, Kamis (17/1/2019). Di kios-kios, pedagang pakaian berdampingan dengan pedagang kue basah dan minuman. Mereka meletakkan gantungan baju, maneken, atau meja dan kursi untuk meletakkan barang jualan mereka di belakang garis kuning yang menjadi area kios mereka.
Para PKL berusaha menggaet pembeli dari kios 3 meter persegi dengan berteriak, “Dibeli, dibeli, dibeli!” Beberapa lainnya memanggil ibu-ibu yang lewat, “Mari, Bunda, silakan lihat dulu.” Para komuter yang berlalu lalang pun menyempatkan diri melihat produk-produk yang ditawarkan. Tidak ada pengunjung yang tergesa-gesa di JPM yang teduh dan berangin itu.
Dini (23), pedagang baju di kios F108 JPM, merasa lebih senang berdagang di JPM karena suasanya yang nyaman. Dibandingkan berjualan di bawah tenda di atas trotoar Jalan Jati Baru Raya yang panas dan pengap, udara lebih sejuk di atas JPM. "Paling-paling manekennya aja yang jadi sering jatuh gara-gara angin kencang," katanya.
Kendati begitu, dari segi pendapatan, ada penurunan cukup signifikan. Sewaktu masih mengokupasi trotoar di area yang ditentukan pemerintah provinsi (pemprov), ia bisa mendapatkan lebih dari Rp 5 juta per hari. Di JPM, pendapatan hanya Rp 1-2 juta.
"Wajar, soalnya masih baru. Namun, kalau disuruh dagang di bawah (trotoar Jalan Jati Baru Raya) lagi, saya mau-mau aja sih," kata Dini.
Para pengunjung kios-kios PKL di JPM Tanah Abang mencoba pakaian yang dijajakan para pedagang kaki lim. Sejak Desember 2018, 446 PKL Telah pindah ke JPM menuju kios yang disewa seharga Rp 500.000 per bulan.Dea (20), pedagang baju wanita dan kerudung di kios T38, juga merasa suasana lapaknya lebih nyaman di atas JPM Tanah Abang. Meski begitu, ia tidak akan menolak jika ditawari untuk kembali berdagang di trotoar Jalan Jati Baru Raya seperti sebelum JPM dibangun. Sebab, selain tidak perlu membayar sewa dan bebas dari ancaman penertiban Satuan Polisi Pamong Praja, pendapatan dinilainya jauh lebih besar.
"Dulu, kami bebas dagang di trotoar, soalnya tempat itu dari pemerintah. Di situ, omzet sehari bisa Rp 20 juta. Sekarang jadi sedikit, paling banyak cuma Rp 5 juta, soalnya enggak begitu ramai. Ramainya paling cuma weekend (akhir pekan)," kata Dea.
Tidak semua berpendapat sama. Ari (30), penyewa kios A10 JPM, malah bersyukur karena tidak ada perbedaan berarti dari segi pemasukan. Penghasilan di atas JPM tetap di kisaran Rp 5 juta per hari seperti saat ia harus berkeringat di bawah tenda di Jalan Jati Baru Raya. Biaya sewa kios Rp 500.000 per bulan pun dinilainya terjangkau.
"Dulu, di bawah, kita terpaksa tutup waktu hujan. Sekarang lebih nyaman karena kita enggak kepanasan dan enggak kehujanan. Enggak desak-desakan juga," katanya sambil tersenyum.
Solusi
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance Bhima Yudhistira mengatakan, penurunan pendapatan PKL setelah pindah ke JPM tidak disebabkan oleh lokasi berdagang yang baru tersebut, melainkan reputasi daerah Tanah Abang sebagai sentral grosir pakaian utama selama bertahun-tahun. Sejauh mata memandang di kios-kios JPM, mayoritas PKL menjual pakaian jadi, seperti baju gamis, kaus, celana, dan sebagainya.
Jumlah pedagang pakaian dinilainya terlalu banyak, padahal tren pembelian pakaian saat ini tengah menurun. Belanja baju secara daring juga berkontribusi pada penurunan ini.
“Pemerintah DKI Jakarta perlu menciptakan empat atau lima pasar lain seperti Tanah Abang, sehingga PKL yang menjual pakaian tidak menumpuk semua di sana. Tempat-tempat baru itu juga perlu dipromosikan. Ini bisa menjadi solusi jangka pendek bagi penurunan pendapatan PKL di JPM Tanah Abang,” kata Bhima.
Sebagai solusi jangka panjang, Bhima menyarankan para PKL di Tanah Abang beralih dari usaha pakaian jadi ke makanan dan minuman. Tujuannya adalah menciptakan diversifikasi produk yang ditawarkan di pasar tersebut. Peluang meraup untuk juga lebih besar berkat digitalisasi layanan antar makanan oleh Go-Food dan Grab Food.
Jumlah pelanggan yang dapat dijangkau juga lebih banyak. Data Go-Food November-Desember 2018, pemesanan paket ayam mencapai 10 juta kali, paket nasi 3,5 juta kali, kopi 1,5 juta kali, gorengan 1,2 juta kali, dan martabak 700.000 kali (Kompas, 13 Januari 2019).
Untuk mendukung alih usaha ini, kata Bhima, pemerintah perlu turun tangan. “Harapannya, tidak hanya ada dukungan melalui kredit usaha rakyat, tapi juga skema kredit khusus dari Bank DKI. Program OK Oce (One Kecamatan One Center for Enterpreneurship) pemerintah provinsi juga bisa digunakan untuk membina para PKL, mulai dari tahap perencanaan sampai berwirausaha,” katanya.
Program OK Oce mencakup tujuh langkah pencetakan kewirausahaan, yaitu perencanaan, pelatihan, pendampingan, perizinan, pemasaran, pelatihan keuangan, dan permodalan. Bhima berharap, penyaluran kredit murah dan pelatihan, termasuk latihan pembuatan koneksi dengan aplikator layanan antar daring, dapat menyelesaikan permasalahan PKL yang terus menahun.