JAKARTA, KOMPAS — Tingkat pengembalian cadangan minyak di Indonesia, kendati sudah mencapai 100 persen, belum cukup menutupi defisit minyak domestik. Kemampuan produksi di dalam negeri hanya memenuhi separuh dari kebutuhan bahan bakar minyak nasional sehingga sisanya harus diimpor. Eksplorasi yang masif menjadi kunci untuk meningkatkan angka cadangan.
Sepanjang 2018, angka atau tingkat pengembalian cadangan sebesar 105,6 persen. Artinya, dari setiap 1 barel minyak mentah yang dikuras, penemuan cadangan baru sedikit lebih banyak atau sebesar 1,056 barel. Angka itu belum cukup untuk memenuhi konsumsi bahan bakar minyak (BBM) nasional yang mencapai 1,5 juta barel sampai 1,6 juta barel per hari. Pasalnya, produksi siap jual minyak 2018 sebanyak 778.000 barel per hari.
”Indonesia memang masih net importir minyak, tetapi gas sudah net exportir. Kuncinya ada dieksplorasi (untuk menemukan cadangan baru). Penemuan baru sangat diperlukan, khususnya penemuan berskala besar,” kata Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto, Rabu (16/1/2019) di Jakarta.
Deputi Perencanaan SKK Migas Jafee Arizon Suardin menambahkan, tingkat pengembalian cadangan tentu yang ideal adalah yang setinggi-tingginya. Hanya saja, angka 100 persen itu, menurut dia, cukup membuat jumlah cadangan migas di Indonesia tidak berkurang. Apalagi, dalam kurun 2014 sampai 2017, tingkat pengembalian cadangan rata-rata hanya 60 persen.
”Tingkat pengembalian cadangan sangat penting. Beberapa tahun lalu, targetnya hanya 60 persen. Pada 2018, tingkat pengembalian cadangan bisa lebih dari 100 persen atau setara dengan 831,5 juta barel setara minyak,” ujar Jafee.
Tahun ini ada 45 proposal rencana pengembangan (plan of development) lapangan migas yang diproses SKK Migas. Beberapa rencana pengembangan yang terhitung ”raksasa” adalah proyek Indonesian Deep Water (IDD) yang dikembangkan Chevron di perairan antara Kalimantan dan Sulawesi. Proyek besar lainnya adalah pengembangan gas Blok Masela di Maluku yang dikembangkan Inpex dan Shell.
Proyek IDD diperkirakan mampu memproduksi minyak sebanyak 27.000 barel per hari dan gas sebanyak 844 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD). Adapun produksi gas di Blok Masela diperkirakan dapat mencapai 9,5 juta ton per tahun untuk gas alam cair (LNG) dan gas pipa sebanyak 150 MMSCFD. Ongkos pengembangan untuk IDD sekitar 5 miliar dollar AS dan Blok Masela 16 miliar dollar AS.
Sebelumnya, Presiden Asosiasi Petroleum Indonesia (IPA) Tumbur Parlindungan mengatakan, untuk menaikkan produksi minyak di dalam negeri, satu-satunya cara dengan menggiatkan eksplorasi. Eksplorasi bisa diintensifkan jika iklim investasi di Indonesia menarik di mata investor. Kemudahan perizinan dan proses eksekusi yang cepat sangat dibutuhkan investor.
”Investor akan selalu membandingkan kondisi investasi hulu migas dari sejumlah negara tujuan. Negara yang dianggap paling menarik untuk investasi akan menjadi target utama,” ujar Tumbur.
Komitmen eksplorasi
Dari catatan SKK Migas, ada komitmen investasi senilai 2,08 miliar dollar AS atau setara Rp 29,4 triliun untuk periode 2018 sampai 2023. Angka itu terdiri dari 950 juta dollar AS untuk kegiatan produksi dan 1,13 miliar dollar AS untuk eksplorasi. Tahun ini akan ada 57 pengeboran sumur eksplorasi.
”Adapun rencana kegiatan untuk pengembangan sumur tahun ini sebanyak 345 pengeboran atau lebih banyak dari realisasi tahun lalu yang sebanyak 278 pengeboran. Adapun survei dua dimensi tahun ini direncanakan seluas 4.328 kilometer persegi dan survei tiga dimensi seluas 4.693 kilometer persegi. Tahun lalu, tidak ada realisasi survei tiga dimensi,” ucap Wakil Kepala SKK Migas Sukandar.
Tahun ini, SKK Migas menargetkan realisasi investasi hulu migas sebesar 14,79 miliar dollar AS atau lebih tinggi dari realisasi 2018 yang sebanyak 11,99 miliar dollar AS. Adapun target penerimaan negara tahun ini nyaris tidak berubah dari realisasi tahun lalu, yaitu 17,5 miliar dollar AS. (ARIS PRASETYO)