Pengembangan Destinasi Wisata Wajib Perhatikan Peta Rawan Bencana
Oleh
Madina Nusrat
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Sebanyak delapan dari 10 destinasi pariwisata prioritas yang saat ini tengah dibangun pemerintah masuk dalam peta rawan bencana. Mitigasi bencana harus dijadikan salah satu prioritas dalam pembangunan kawasan wisata.
Bentuk mitigasi bencana yang dimaksudkan salah satunya adalah penataan ruang dan pembangunan yang memperhatikan peta rawan bencana.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho, di Jakarta, Kamis (17/1/2019), mengatakan, mitigasi strukural dan non struktural di kawasan pariwisata masih sangat minim. Padahal, mitigasi dan pengurangan risiko bencana hendaknya ditempatkan sebagai investasi dalam pembangunan pariwisata.
Di balik berkah keindahan alam, Indonesia juga menyimpan potensi bencana, terutama jika tidak dikelola dengan baik
Menurut Sutopo, setiap 1 dollar AS yang diinvestasikan dalam proses pembangunan untuk pengurangan risiko bencana, itu mampu mengurangi kerugian akibat bencana sebesar 7-40 dollar AS.
“Penataan ruang dan pembangunan kawasan pariwisata hendaknya memperhatikan peta rawan bencana. Sejak perencanaan hingga operasionalnya, semua pemangku kepentingkan selalu waspada dengan ancaman bencana yang ada,” jelasnya.
Saat ini pemerintah tengah menggenjot pembangunan 10 destinasi pariwisata prioritas atau yang sering disebut sebagai 10 Bali baru yang terdiri dari Danau Toba, Tanjung Lesung, Tanjung Kelayang, Kepulauan Seribu dan Kota Tua, Borobudur, Bromo Tengger Semeru, Wakatobi, Mandalika, Morotai dan Labuan Bajo.
Delapan dari 10 destinasi pariwisata prioritas tersebut berada di daerah yang rawan gempa, dan sebagian tsunami. Padahal, investasi pengembangan 10 destinasi pariwisata prioritas tersebut sangat besar yakni Rp 500 triliun.
Sutopo mencontohkan beberapa dampak bencana terhadap sektor pariwisata seperti, erupsi Gunung Merapi tahun 2010 yang menurunkan jumlah kunjungan wisatawan di beberapa obyek wisata di Yogyakarta dan Jawa Tengah hingga 50 persen.
Ada pula erupsi Gunung Agung di Bali tahun 2017 yang menyebabkan 1 juta wisatawan berkurang dengan nilai kerugian mencapai Rp 11 triliun. Gempa Lombok yang beruntun pada tahun 2018 menyebabkan pengurangan jumlah wisatawan hingga 100 ribu orang serta kerugian senilai Rp 1,4 triliun. Terakhir, tsunami di Selat Sunda yang menyebabkan pembatalan kunjungan wisatawan hingga 10 persen.
Sutopo menyarankan, koordinasi dengan berbagai pihak perlu dilakukan secara berkesinambungan. Tak hanya itu, lima kunci dalam pembangunan pariwisata dan penanggulangan bencana yang melibatkan unsur pemerintah, dunia usaha, akademisi, masyarakat, dan media hendaknya didukung semua pihak.
Lebih lanjut, Sutopo menyampaikan, bencana adalah keniscayaan. Pasti terjadi karena bencana memiliki periode ulang, ditambah lagi dengan faktor antropogenik yang semakin meningkatkan risiko bencana. Dampak risiko bencana itu dapat dikurangi dengan mitigasi.
"Di balik berkah keindahan alam, Indonesia juga menyimpan potensi bencana, terutama jika tidak dikelola dengan baik," ucap Sutopo.
Dihubungi secara terpisah Kamis malam, Kepala Biro Komunikasi Publik Kementerian Pariwisata Guntur Sakti mengatakan bencana yang melanda kawasan pariwisata akan dijadikan sebagai momentum instrospeksi. Pembangunan dan pengembangan daerah wisata ke depannya akan mengutamakan aspek mitigasi bencana.
“Regulasi terkait sempadan pantai yang mewajibkan pengosongan zona aman sepanjang 100 meter akan dituangkan dalam rencana tata ruang pembangunan kawasan pariwisata,” ucap Guntur.
Selain itu, pemanfaatan sistem dini kegawatdaruratan bencana juga akan di pasang baik di 10 destinasi pariwisata prioritas maupun di kawasan wisata lainnya.
Namun saat dikonfirmasi terkait sistem mitigasi yang akan diterapkan di 10 destinasi prioritas, Ketua Kelompok Kerja Bidang Percepatan Pembangunan 10 Destinasi Pariwisata Prioritas, Kementerian Pariwisata Hiramsyah S Thaib tak dapat dihubungi.