Penyintas Likuefaksi Palu Usulkan Lahan Baru untuk Relokasi
Oleh
VIDELIS JEMALI
·3 menit baca
PALU, KOMPAS - Penyintas gempa bumi dan likuefaksi di Kota Palu, Sulawesi Tengah, usul kepada pemerintah dua lokasi baru untuk relokasi dan pembangunan hunian tetap. Lokasi lama dinilai tidak aman, sedangkan di lokasi baru usulan mereka dekat dengan kerabat.
Lahan relokasi versi pemerintah di Kelurahan Duyu, Kecamatan Tatanga, dinilai tidak aman. “Banyak cerita dan sejarah yang kami dengar bahwa daerah itu rentan likuefasi. Masak kami direlokasi ke daerah rentan bencana lagi,” kata Marwam P Angku (43), penyintas likuefaksi di Kelurahan Balaroa, Palu, Rabu (16/1/2019).
Umumnya, penyintas sepakat relokasi tetap di Kelurahan Balaroa. Di sana masih ada lahan kosong yang bisa dipakai untuk relokasi.
Duyu, dalam bahasa Kaili, berarti longsor. Itu mirip yang terjadi di kompleks Perumnas Balaroa ketika gempa bumi pada 28 September 2018, yakni tanah dan rumah ambles.
Gempa berkekuatan M 7,4 mengguncang Kota Palu, Kabupaten Donggala, dan Sigi, 3,5 bulan lalu. Gempa disusul tsunami dan likuefaksi. Likuefaksi terjadi di kompleks Perumnas Balaroa dan Kelurahan Petobo di Palu, serta Desa Jono Oge dan Sibalaya Utara di Sigi. Bersama tsunami, likuefaksi menelan banyak korban jiwa dan menghancurkan rumah.
Gubernur Sulteng Longki Djanggola telah menetapkan empat lokasi relokasi dan pembangunan hunian tetap untuk penyintas tsunami dan likuefaksi. Di Palu, relokasi dilakukan ke Kelurahan Tondo-Talise dan Kelurahan Duyu; penyintas likuefaksi di Sigi direlokasi ke Desa Pombewe; penyintas tsunami di Donggala di relokasi di salah satu titik di Sirenja.
Usulan relokasi di luar lahan yang ditetapkan juga diutarakan Nurhasan (45), penyintas likuefaksi Petobo. Para penyintas menginginkan lahan di dekat lokasi pengungsian saat ini, sekitar 1 kilometer (km) arah timur (atas) titik likuefaksi. “Lahan kosong ini bisa dipakai untuk relokasi. Daripada kami ke tempat yang jauh, lebih baik kami di sini,” katanya. Penyintas Petobo direncanakan direlokasi ke Tondo-Talise sekitar 7 km dari lokasi pengungsian.
Pada prinsipnya pemerintah mengakomodasi semua keinginan warga asalkan tidak bertentangan dengan aturan yang berlaku.
Nurhasan beralasan sulit terpisah jauh dari kerabat yang masih berada di sekitar Petobo yang tak terkena likuefaksi. Selain itu, ada alasan lain, yakni ikatan masa lalu.
Menanggapi usulan penyintas, Longki menyatakan telah mengetahuinya. Dua lokasi itu telah disampaikan ke Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) untuk disurvei. "Ini perlu diteliti betul agar di kemudian hari tidak terjadi lagi seperti di Balaroa dan Petobo,” ujarnya.
Longki menyebut, pada prinsipnya pemerintah mengakomodasi semua keinginan warga asalkan tidak bertentangan dengan aturan yang berlaku. Tetapi, untuk memutuskannya ada proses yang harus dilalui. Penyintas diminta untuk menunggu.
Ia menegaskan sebenarnya empat titik yang telah ditetapkan sudah dikaji oleh berbagai lembaga di bawah koordinasi Bappenas.
Ia menegaskan, sebenarnya empat titik yang telah ditetapkan sudah dikaji oleh berbagai lembaga di bawah koordinasi Bappenas. Namun, kata Longki, kendala utama dua titik baru untuk relokasi itu status lahannya yang milik perorangan atau warga.
“Masalahnya nanti siapa yang akan ganti rugi. Itu saja masalahnya kalau memang dua titik baru itu layak untuk permukiman,” katanya.
Lahan yang sebelumnya telah ditetapkan untuk relokasi merupakan hak guna usaha atau hak guna bangunan. Lahan-lahan itu selama ini ditelantarkan sehingga menjadi alasan bagi pemerintah untuk dipakai sebagai lahan relokasi apalagi di tengah keadaan memaksa (bencana).
Terkait relokasi untuk pembangunan hunian sementara, pada Desember 2018, Program Pembangunan PBB (UNDP) merilis survei yang melibatkan 1.005 responden (keluarga). Survei mengungkap empat aspirasi warga soal relokasi, yakni di daerah aman (47,10 persen), dekat dengan rumah lama (17,32 persen), dekat dengan sumber penghasilan (12,93 persen), dan disediakan pemerintah (17,87 persen).