JAKARTA, KOMPAS - Kementerian Pertanian menganggarkan sekitar Rp 81,6 miliar untuk pengembangan tebu pada 2019. Anggaran tersebut digunakan untuk perluasan area tebu seluas 3.700 hektar (ha) dan 10.750 ha untuk rawat ratoon. Sementara bongkar ratoon ditiadakan untuk tahun ini.
Merujuk pada Pedoman Teknis Pengembangan Tebu (2015) Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, rawat ratoon adalah perawatan tebu keprasan secara intensif. Sementara bongkar ratoon adalah pelaksanaan budi daya dengan membongkar tanaman tebu yang telah dikepras lebih dari 3 kali atau areal tanam yang produktivitasnya di bawah 70 ton per hektar.
Direktur Tanaman Semusim dan Rempah Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Agus Wahyudi, saat ditemui di Jakarta, Kamis (17/1/2019), menyatakan, dari 414.000 ha total luas lahan, 20 persen di antaranya sudah harus dilakukan bongkar ratoon. Namun, sebagian petani masih ragu-ragu melakukan hal ini karena butuh investasi besar dan petani khawatir dengan nasib harga gula ke depan.
“Pemerintah tugasnya sebagai fasilitator. Dalam arti, kami hanya memberi insentif kepada petani untuk melakukan bongkar ratoon, bukan membiayai secara total. Adapun insentif tersebut berupa pupuk 350 kilogram per hektar, itu hanya sebagai insentif saja supaya beban itu tidak semua ditanggung oleh petani,” kata Agus.
Agus menyatakan, rawat ratoon pada 10.750 ha, untuk mempertahankan tanaman tebu yang sudah ada. “Ini untuk membantu petani mempertahankan produksi tebu saat ini, karena 2017 dan 2018 harga gula jatuh. Kita berikan insentif untuk pemupukan supaya kebunnya tidak ditinggal,” lanjut Agus.
Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor Dwi Andreas Santosa mengatakan, produktivitas tebu semakin lama semakin menurun. Oleh karena itu, bongkar ratoon penting dalam tata kelola tanaman tebu. Bongkar ratoon juga efektif untuk memutus hama penyakit pada tebu.
“Oleh sebab itu, pemerintah harus membantu penuh petani tebu yang ingin melakukan bongkar ratoon,” kata Dwi.
Ketua Umum Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen saat dihubungi dari Jakarta mengatakan, masih ada petani tebu yang melakukan bongkar ratoon secara mandiri. Namun, jumlahnya sangat kecil.
“Sebagian malah frustasi. Setelah tebu dibongkar, terus diganti dengan komoditas lain,” kata Soemitro.
Investasi
Pemerintah menggandeng 19 perusahaan untuk berinvestasi mengembangkan pabrik gula dan lahan tebu. Total investasi mencapai Rp 41,44 triliun. Dengan investasi tersebut, akan ada tambahan sekitar 604.000 hektar (ha) lahan tebu. Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Bambang optimistis pum optimistis target produksi gula nasional mencapai 2,5 juta ton pada 2019. (Kompas, Senin 12 November 2018).
Agus mengatakan, jumlah pabrik gula saat ini sebanyak 57 unit. Sebanyak 40 unit dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara. Adapun rendemen gula nasional berkisar 7,4-7,8 persen. Produksi tebu satu hektar lahan mencapai 70-85 ton. Adapun jumlah gula yang dihasilkan berkisar 5-5,3 ton per hektar.
Dengan investasi ini, Agus optimistis dalam tiga tahun ke depan dengan beroperasinya pabrik gula baru, produksi gula bisa ditingkatkan menjadi 6-8 ton per hektar.
Andreas menambahkan, hal yang paling krusial untuk menggenjot produksi petani tebu adalah harga. Dia mendorong pemerintah untuk menetapkan harga pokok pembelian (HPP) gula petani Rp 10.500, dari sebelumnya Rp 9.700.
“Bahkan, pada bulan Agustus tahun lalu, harga gula sempat jatuh menjadi Rp 9.100,” kata Andreas. (Insan Alfajri)