Tekan Defisit, Indonesia Perlu Pacu Ekspor Jasa
JAKARTA, KOMPAS — Sektor jasa Indonesia, seperti pariwisata, pendidikan, kesehatan, dan layanan profesional lain, dinilai memiliki potensi dan peluang
besar. Namun, pengembangan sektor ini menghadapi tantangan, antara lain, terkait regulasi dan infrastruktur.
Ketua Departemen Ekonomi Centre For Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri, di sela-sela diskusi ”Potensi Sektor Jasa,
Defisit Neraca Berjalan, dan Masa Depan”, di Jakarta, Rabu (16/1/2019), mencontohkan pengembangan pariwisata. Sektor ini belum berjalan linear dengan penyediaan layanan angkutan umum.
Peningkatan ekspor dalam bentuk jasa, kata Yose, penting untuk menekan defisit neraca perdagangan. Ekspor jasa tenaga kerja dan transportasi bisa menjadi prioritas Indonesia. Di tengah defisit neraca perdagangan barang, neraca perdagangan jasa justru menunjukkan tren positif. Berdasarkan data Bank Dunia, sektor jasa pada 2017 berkontribusi 43,6 persen dari total produk
domestik bruto (PDB) Indonesia. Kontribusi sektor jasa merupakan yang terbesar dibandingkan dengan sektor manufaktur (21 persen) dan pertanian (13 persen).
”Selama ini, kita hanya terus membahas bagaimana meningkatkan ekspor barang. Padahal, potensi ekspor jasa sangat luar biasa untuk perekonomian Indonesia. Melalui sektor jasa, akan ada penciptaan nilai tambah serta penyerapan tenaga kerja yang lebih besar,” kata peneliti senior CSIS sekaligus mantan Menteri Perdagangan periode 2004-2011 Mari Elka Pangestu pada acara tersebut.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca perdagangan Indonesia pada Januari-Desember 2018 defisit 8,57 miliar dollar AS atau
setara dengan Rp 120,6 triliun. Nilai itu merupakan defisit terdalam neraca perdagangan Indonesia sejak 1975. Defisit neraca perdagangan terutama
disebabkan defisit neraca minyak dan gas bumi (Kompas, 16/1/2019).
Adapun defisit transaksi berjalan pada triwulan III-2018 sebesar 8,8 miliar dollar AS atau 3,37 persen PDB. Defisit ini lebih dalam dibandingkan dengan triwulan II-2018 yang sebesar 7,977 miliar dollarAS atau 3,02 persen PDB.
Mari menyampaikan, transaksi berjalan Indonesia 2018 memang masih defisit. Selain karena defisit neraca perdagangan, neraca jasa pun konsisten defisit, setidaknya sejak 2004. Namun, tren menunjukkan peningkatan ekspor jasa sehingga defisit neraca jasa cenderung mengecil.
”Selama kurun 3-5 tahun terakhir, tren dunia menunjukkan permintaan bentuk jasa yang makin modern, sepertijasa riset dan pengembangan, desain, serta ekonomi internet. Indonesia semestinya bisa bergerak lebih ke arah sana,” ujarnya.
Hadapi kendala
Executive Director Indonesia Services Dialogue Council Devi Ariyani mengatakan, pelaku usaha sektor jasa, terutama kalangan ekonomi kreatif, terkendala akses permodalan. Mereka biasanya menghasilkan karya yang diakui dengan hak kekayaan intelektual (HKI), tetapi HKI ini tidak bisa dipakai sebagai jaminan meminjam kredit perbankan.
Ketika muncul penyedia layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi, pelaku sektor jasa tidak serta-merta bisa memanfaatkannya. Alasan utamanya terletak pada kecilnya nilai dana pinjaman yang ditawarkan. ”Tantangan yang tidak boleh diabaikan adalah infrastruktur untuk menyertifikasi profesi sektor jasa. Di China, setiap bidang profesi subsektor jasa
sudah tersedia infrastruktur sertifikasi,” ujarnya.
Ekonom senior Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA) Dionisius Narjoko berpendapat, pengembangan sektor jasa secara berkelanjutan membutuhkan basis data yang kuat. Hal ini menjadi pekerjaan rumah Indonesia
Beri stimulan
Direktur Eksekutif Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia Danang Girindrawardhana mengatakan pemerintah harus memperbaiki neraca perdagangan dengan memberikan stimulan, terutama kepada sektor yang selama ini menjadi andalan.
"Melalui pencermatan terhadap defisit atau surplus di sektor-sektor tertentu itulah pemerintah bisa menerbitkan kebijakan sektoral yang tepat," kata Danang di Jakarta, Rabu (16/1/2019).
Merujuk data Badan Pusat Statistik, total nilai ekspor Indonesia Januari-Desember 2018 sebesar 180,06 miliar dollar AS. Nilai ekspor nonmigas tercatat 162,65 miliar dollar AS atau 90,33 persen dari total ekspor sepanjang tahun 2018 tersebut.
Perincian menurut sektor; ekspor nonmigas hasil industri pengolahan pada Januari-Desember 2018 sebesar 129,93 miliar dollar AS. Ekspor hasil tambang dan lainnya sebesar 29,29 miliar dollar AS. Adapun ekspor hasil pertanian 3,44 miliar dollar AS.
Menurut Danang dukungan pemerintah dalam membangun perjanjian dagang mampu memudahkan pelaku industri, semisal industri tekstil, menembus pasar ekspor. "Tapi masalah atau kebijakan di dalam negeri ada yang belum selesai. Contohnya soal upah minimum sektoral kabupaten yang belum diperbaiki," katanya.
Danang mengatakan, tuntutan upah minimum sektoral kabupaten yang tinggi menjadi masalah besar bagi pelaku industri padat karya. Upah minimum sektoral kabupaten yang terlalu tinggi akan membebani komponen biaya produksi dan berujung pada rendahnya daya saing harga produk.
Sementara itu Wakil Ketua Umum Bidang Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial Kamar Dagang dan Industri Indonesia Anton J Supit menuturkan, pada kondisi ekonomi yang mengalami tekanan defisit perdagangan jangan sampai pemerintah membuat kebijakan yang kontraproduktif bagi pelaku industri.