70 Persen ASN Tak Siap Hadapi Pensiun
Sebagian besar aparatur sipil negara tidak siap saat masa pensiun datang. Kecilnya uang pensiun membuat mereka harus terus bekerja meski di bidang yang berbeda atau berwirausaha. Bahkan, sebagian harus bergantung pada anak dan keluarga lain demi bertahan hidup.
”70 persen ASN harus melanjutkan kerja atau memulai bisnis sendiri saat pensiun,” kata Direktur Utama PT Tabungan dan Asuransi Pensiun (Taspen) Iqbal Latanro di sela-sela acara Program Wirausaha ASN dan Pensiunan di Bogor, Rabu (16/1/2019). Program yang digagas PT Taspen itu untuk menyemangati dan memotivasi ASN agar terus berusaha saat purnatugas.
Acara yang dibuka Presiden Joko Widodo itu juga dihadiri Menteri BUMN Rini Soemarno, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Syafruddin, Menteri Koperasi dan UKM Puspayoga, serta Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto.
Joko Widodo mengakui sudah mendengar banyak ASN yang cemas menjelang pensiun. Namun, dengan tunjangan-tunjangan yang cukup baik saat ini, pendapatan yang mereka terima akan cukup sepanjang tidak digunakan secara konsumtif, bisa menabung, dan mengelola keuangan dengan baik.
Secara terpisah, Ketua Umum Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) Zudan Arif Fakrulloh mengatakan, semua ASN yang akan pensiun pasti akan cemas. ”Saat pensiun, pendapatan mereka turun drastis, yakni 75 persen dari gaji pokok,” katanya.
Sebagai gambaran, pejabat eselon 1 dengan pendapatan total, termasuk tunjangan jabatan dan tunjangan kinerja, mencapai Rp 35 juta-Rp 40 juta per bulan, hanya menerima Rp 3,5 juta-Rp 4 juta per bulan saat pensiun. Sedangkan pensiunan ASN dengan pendidikan sarjana hanya mendapat Rp 2,5 juta-Rp 3 juta sebulan. Tak ada fasilitas atau tunjangan apa pun untuk pensiunan.
Korpri, lanjut Zuhdan, senantiasa mendorong perbaikan pendapatan ASN saat pensiun. Pendapatan saat pensiun itu seharusnya sudah dirancang sejak awal bekerja dengan menambah besaran iuran. Selain itu, pelatihan menghadapi masa pensiun sebaiknya diberikan 5-10 tahun sebelum masa pensiun.
Pendapatan saat pensiun itu seharusnya sudah dirancang sejak awal bekerja dengan menambah besaran iuran.
”Persiapan pensiun yang lebih awal dengan mendorong ASN memiliki usaha sampingan atau memberi pelatihan usaha kepada pasangannya yang tidak bekerja akan memberi bekal yang baik,” katanya.
Pensiunan guru, Suhermanto, yang mengikuti pelatihan pertanian hidroponik yang diselenggarakan Bank Mandiri dan PT Taspen melalui program Mantap mengakui besarnya manfaat program tersebut. Pelatihan yang berjalan sejak 1 Januari 2017 itu bisa membantu membiayai dua dari empat anaknya yang masih kuliah dan SMA. Usaha itu memberinya tambahan pendapatan Rp 3 juta per bulan.
Perlindungan lansia
Guru Besar Ekonomi Kependudukan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Aris Ananta mengatakan, banyaknya pensiunan ASN yang harus bekerja atau bergantung pada anggota keluarga lain merupakan konsekuensi dari kecilnya pendapatan pensiunan mereka. Bahkan, uang pensiun beberapa golongan ASN lebih rendah daripada upah minimum provinsi (UMP) di sejumlah daerah.
Meski demikian, mereka termasuk dalam kelompok penduduk lanjut usia (lansia) Indonesia yang beruntung. Saat ini, baru 11 persen lansia yang punya jaminan pensiun.
Itu berarti, justru banyak lansia Indonesia yang tidak memiliki jaminan hari tua. Situasi itu membuat mereka harus banting tulang menghidupi diri, bahkan menghidupi keluarganya yang lain. Tak sedikit pula lansia yang hidup telantar karena tidak hanya tidak memiliki penghasilan, tapi juga hidup tanpa keluarga.
”Indonesia belum memiliki sistem perlindungan yang baik terhadap lansia,” katanya. Tahun 2018, Indonesia memiliki 25 juta orang lansia. Jumlah lansia itu akan mencapai 48 juta orang pada 2035 dan akan terus naik seiring selesainya masa bonus demografi.
Karena itu, pelatihan wirausaha bagi calon pensiunan adalah pilihan terbaik di tengah situasi yang buruk. Merintis usaha di usia tua tidak mudah. Jika memang berniat membangun usaha, seharusnya bisa dilakukan sejak muda. Selain persoalan bakat, mengubah kebiasaan saat tua lebih sulit dibandingkan ketika masih muda.
Di negara-negara maju, pensiun adalah hadiah atas kerja keras warga negara selama masa produktif. Mereka bebas untuk terus bekerja atau tidak, namun tidak akan digaji lagi kecuali dengan jaminan pensiun mereka.
Sementara di Indonesia, pensiun dianggap sebagai masa pergantian antara pekerja yang sudah tua dan yang lebih muda. Meski mereka masih produktif, mereka dipaksa harus pensiun. ”Itu melanggar prinsip hak asasi manusia dan efisiensi ekonomi,” kata Aris.
Itu melanggar prinsip hak asasi manusia dan efisiensi ekonomi.
Pasal 27 Ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 menjamin setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, tak ada batasan umur. Sementara dalam prinsip ekonomi, siapapun yang produktif, seharusnya terus diberdayakan, tidak boleh dipaksa berhenti bekerja hanya karena usianya sudah tua.
”Pertimbangannya adalah produktivitasnya, bukan usianya,” katanya.
Terlebih, usia pensiun di Indonesia masih dianggap terlalu rendah. Untuk ASN, usia pensiun paling rendah adalah 58 tahun. Sedangkan di perusahaan swasta, usianya lebih rendah lagi. Padahal usia harapan hidup orang Indonesia sudah mencapai 71 tahun pada 2017 dan akan terus meningkat seiring membaiknya kualitas hidup mereka.
World Population Prospects: The 2015 Revision menyebut, Indonesia memiliki jumlah lansia berumur lebih dari 60 tahun terbesar kedelapan di dunia pada 2015. Pada 2030, lansia Indonesia akan masuk peringkat enam besar dunia. Jumlah yang besar itu adalah konsekuensi dari besarnya jumlah penduduk Indonesia yang menduduki empat besar dunia dan akan bergerak menuju struktur populasi menua.
Indonesia memiliki jumlah lansia berumur lebih dari 60 tahun terbesar kedelapan di dunia pada 2015.
Karena itu, Aris mengusulkan agar sistem lansia Indonesia diubah guna mengantisipasi terus bertambahnya usia harapan hidup manusia Indonesia. Sepanjang masih sehat dan produktif, usia pensiun diusulkan dinaikkan menjadi 65 tahun atau lebih. Selain itu, pensiun bersifat sukarela sehingga mereka yang tetap ingin bekerja bisa terus bekerja.
Usulan itu pasti akan mendapat tentangan. Penduduk yang lebih muda akan menolak karena mengurangi kesempatan mereka. Penduduk dewasa berumur 40-50 tahun yang tidak produktif juga akan menentangnya karena khawatir tidak bisa mencapai batas umur pensiun dan tidak bisa menikmati uang pensiun mereka. ”Intinya, tidak boleh ada larangan bekerja hanya gara-gara usia,” katanya.
Di luar persoalan usia, membangun sistem jaminan hari tua yang baik bagi lansia juga harus dipikirkan dari sekarang. Ini menjadi tantangan besar mengingat sebagian besar orang Indonesia bekerja di sektor nonformal yang tidak memiliki jaminan hari tua.
Jika persiapan mengelola lansia yang besar tidak disiapkan dari sekarang, Indonesia harus siap menuai persoalan besar. Saat bonus demografi usai dan jumlah lansia melonjak, mereka akan membebani penduduk produktif yang ujungnya justru membebani negara.