Agusta Tamala Mendidik Tanpa Gaji
Seandainya Agusta Tamala (44) itu seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ia sudah pasti berteriak memprotes pemerintah lantaran dirinya tidak digaji. Agusta tidak mungkin melakukan itu. Ia hanyalah guru honorer di pelosok yang terpaut sekitar 2.000 kilometer dari pusat kekuasaan di Jakarta.
Agusta Tamala hadir sebagai dewi penyelamat bagi masa depan anak-anak Desa Yamalatu, Kecamatan Telutih, Kabupaten Maluku Tengah. Ia membangkitkan kembali kegiatan belajar mengajar di salah satu desa pelosok di Pulau Seram, yang terkubur selama hampir enam tahun. Kala itu, tahun 2005, konflik sosial bernuansa agama yang melanda Maluku mulai Januari 1999, perlahan reda.
Dalam suasana yang masih mencekam, ia mengumpulkan anak-anak yang baru pulang dari kamp pengungsian untuk belajar di rumah darurat miliknya. Anak-anak belajar dalam ruangan tanpa meja dan tempat duduk. Mereka melantai di atas tanah. Sebab, gedung SD Inpres Yamalatu yang sebelumnya tegak berdiri ikut terbakar saat konflik. Guru yang mengajar di sekolah itu pun telah pergi dan tak kembali lagi.
Agusta yang bukan lulusan diploma atau sarjana itu memberanikan diri mengajar. Dengan modal ijazah sekolah menengah atas, ia nekat menjadi guru bagi anak-anak korban konflik yang saat itu berjumlah lebih kurang 50 orang.
"Saya kasihan lihat anak-anak kecil yang tidak bisa baca, tulis, dan hitung. Saya tergerak untuk mengumpulkan mereka. Waktu itu hanya modal nekat saja," katanya.
Awal mengajar, Agusta tak punya buku panduan. Untuk mendapatkan buku harus ke Masohi, ibu kota kabupaten dengan perjalanan yang berisiko tinggi. Suasana konflik masih kental. Belum lagi waktu perjalanan kala itu paling cepat dua hari lantaran harus menyeberang puluhan sungai. Jalanan masih berupa tanah. Arus kendaraan sangat sedikit. Kini, perjalanan dari Yamalatu ke Masohi sekitar dua jam.
"Saya kasihan lihat anak-anak kecil yang tidak bisa baca, tulis, dan hitung. Saya tergerak untuk mengumpulkan mereka. Waktu itu hanya modal nekat saja," katanya.
Kala itu, Agusta hanya mengandalkan ingatannya pada mata pelajaran sekolah dasar yang ia dapat dulu. Tentu tidak semua. Ia hanya bisa mengajarkan tentang baca, tulis, berhitung, pendidikan Pancasila, dan agama. Targetnya adalah anak-anak bisa membaca, menguasai perhitungan dasar, mengenal negara, dan tahu tentang ajaran agama. Dengan kondisi semacam itu, selama beberapa tahun tidak ada laporan pendidikan.
Hingga enam tahun berlalu sejak 2005, Agusta masih sendirian mengajar SD kelas 1 sampai kelas 6. Atas inisiatif warga di kampung itu dibangun sekolah darurat. Setiap hari mulai pukul 07.30 hingga pukul 12.00, dia mengontrol sendiri anak-anak. Namanya juga anak-anak, ditinggal beberapa saat, suasana kelas sudah gaduh. Agusta menikmatinya.
Sejak 2005 itu pula, Agusta mengajar tanpa gaji. Masyarakat Desa Yamalatu sempat menyepakati untuk memberinya gaji Rp 52.000 per bulan. Kondisi ekonomi warga yang baru pulih dari konflik menyebabkan kesepakatan itu tidak berjalan. Ia tetap mengajar. "Saya memang sempat mengeluh tapi suami saya menguatkan saya. Dia mendukung saya untuk tetap mengajar," katanya.
Terancam ditutup
Tahun 2008, petugas dari Unit Pelaksana Teknis Dinas Pendidikan Kecamatan Telutih datang ke sekolah milik pemerintah yang diampu hanya oleh satu guru honor lulusan sekolah menengah atas itu. Mereka lalu memutuskan untuk menutup sekolah tersebut. Alasannya, tidak ada guru berstatus pegawai negeri sipil, dan kondisi sekolah itu tidak layak.
Kehadiran petugas membawa mimpi buruk. Sekolah milik pemerintah itu bukan diperbaiki, bukan pula didatangkan guru PNS. Rencana penutupan sekolah itu membuat anak-anak menangis. Para orangtua juga gelisah. Mimpi anak-anak mereka akan terkubur. Tarik ulur pun terjadi. Agusta tampil sebagai jaminan.
"Waktu itu saya bilang, biar saya yang mengajar juga tidak apa-apa. Tanpa ada gaji juga tidak masalah," kenang dia.
Kisah tentang dirinya mempertahankan SD Inpres Yamalatu yang disampaikan Agusutu kepada Kompas pada awal Desember 2018 lalu, itu tiba-tiba saja menarik ingatan pada kisah pendidikan SD Muhammadiyah Belitung Timur, Bangka Belitung, yang ditulis Andrea Hirata dalam novel berjudul Laskar Pelangi. Sekolah itu nyaris ditutup lantaran jumlah murid tidak cukup. Menutup sekolah sama dengan menguburkan mimpi generasi muda.
"Waktu itu saya bilang, biar saya yang mengajar juga tidak apa-apa. Tanpa ada gaji juga tidak masalah," kenang dia.
Jaminan yang diberikan Agusta membuat petugas pun kagum. Mereka lalu memberi bantuan meja dan tempat duduk. Tiga tahun belajar di lantai tanah, tahun 2008 anak-anak sudah duduk di atas bangku meski berdesakan karena jumlah bangku dan meja terbatas. Dan, guru masih tetap satu orang, yakni Agusta.
Hingga suatu ketika pada 2012, desa mereka dikunjungi oleh bupati Maluku Tengah saat itu, Abdullah Tuasikal. Tidak membuang kesempatan itu, Agusta menyampaikan langsung kepada bupati agar menugaskan seorang guru pegawai negeri sipil di sekolah itu. Guru didatangkan dan sekolah juga mulai diperbaiki.
Saat ini, di sekolah itu terdapat tiga guru PNS dan tiga guru honor termasuk Agusta. Mereka yang lain baru bertugas di sekolah itu belum sampai lima tahun. Agusta sendiri sudah 14 tahun. Jika dulu pernah dijanjikan diberi gaji Rp 52.000 per bulan, kini ia dijanjikan akan dibayar Rp 200.000 per bulan. Itu pun realisasinya tidak jelas. "Anggap saja saya tidak digaji," katanya.
Menetap di daerah seperti Maluku dengan biaya hidup yang tinggi membuat uang sebesar Rp 52.000 atau Rp 200.000 tak punya nilai. Padahal upah minimun Provinsi Maluku tahun 2019 sebesar Rp 2,4 juta. Sekadar catatan, harga beras Rp 15.000 per kilogram. Ongkos mobil ke ibu kota kabupaten pergi dan pulang Rp 300.0000.
Berkat dukungan keluarga dan kemauannya untuk mengabdi, Agusta tetap bertahan. Bila menjadi pegawai negeri sipil setidaknya ia mempunyai penghasilan tetap. Selama ini, kehidupan keluarga hanya ditopang oleh suaminya Hendrik Walalohun yang bekerja serabutan.
Perjuangan Agusta untuk pendidikan di kampung itu menjadi inspirasi bagi anak-anak untuk untuk giat belajar. Tamat SD Inpres Yamalatu, mereka melanjutkan pendidikan ke SMP dan SMA di Desa Laimu, ibu kota kecamatan. Setiap hari mereka berjalan kaki pergi pulang sejauh 8 kilometer serta menyeberangi sungai dengan arus yang deras. Kini banyak dari mereka melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi.
Marga Patiasina, pendeta yang bertugas di Desa Yamalatu mengatakan, selama bertugas di beberapa wilayah di Maluku, ia belum pernah melihat sosok yang tulus mengabdi seperti Agusta. Agusta mengajarkan tentang ketabahan dan pengorbanan tanpa pamrih. Sebuah totalitas demi pendidikan anak-anak pelosok.
Agusta Tamala
Lahir: Yamalatu 12 Agustus 1975
Suami: Hendrik Walalohun
Anak: 3
Pendidikan terakhir: SMA