JAKARTA, KOMPAS — Badan Pengawas Pemilu masih mengkaji kemungkinan pelaporan terhadap Komisi Pemilihan Umum ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu sebagai respons atas sikap KPU yang tidak menindaklanjuti putusan Bawaslu. Bawaslu menilai, daftar calon tetap perseorangan anggota Dewan Perwakilan Daerah saat ini tidak memiliki dasar hukum karena telah dibatalkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta.
Bawaslu menyatakan, mengacu pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, KPU wajib menindaklanjuti putusan Bawaslu. Pada 9 Januari 2019, Bawaslu menyatakan KPU melakukan pelanggaran administratif dengan tidak menindaklanjuti putusan PTUN Jakarta yang memerintahkan KPU memasukkan nama Oesman Sapta Odang ke dalam daftar calon tetap (DCT).
Namun, Bawaslu memerintahkan KPU agar tidak memasukkan nama Oesman sebagai calon terpilih bilamana sehari sebelum penetapan calon terpilh tidak mundur dari pengurus partai politik.
”Sudah merupakan kewajiban KPU, menurut undang-undang, untuk segera menindaklanjuti putusan Bawaslu tersebut. Jalan satu-satunya ialah melaporkan KPU ke DKPP, tetapi prosesnya masih akan kami kaji karena kami tidak melihat semata-mata pada kasus itu saja,” kata Fritz Edward Siregar, Jumat (18/1/2019), yang ditemui di sela-sela acara sosialisasi mekanisme penghitungan suara di Kantor KPU, Jakarta.
”Ada persoalan terkait dengan SK penetapan DCT itu sebab kini ada ribuan calon anggota DPD yang dasar hukum pencalonannya tidak jelas. PTUN telah membatalkan SK penetapan DCT anggota DPD dan sekarang apa dasar hukum KPU dengan penetapan DCT itu,” lanjutnya.
Fritz mengatakan, KPU tidak bisa mengabaikan putusan PTUN begitu saja dan meneruskan pemberlakuan DCT yang telah dibatalkan oleh pengadilan. ”Terlepas dari sikap kami menyangkut kasus Pak OSO (Oesman Sapta Odang), bagaimana nasib ribuan calon anggota DPD yang sekarang tidak jelas itu. Di situlah sebenarnya kami memberikan perhatian,” ujarnya.
Dasar hukum DCT
Jika KPU dilaporkan ke DKPP, menurut Fritz, sanksi yang dikenakan kepada KPU berupa sanksi etik. Hal itu tidak menyelesaikan persoalan dasar hukum penetapan DCT anggota DPD yang kini dipertahankan oleh KPU.
KPU tetap meminta Oesman mundur hingga 22 Januari 2019 agar namanya bisa dicantumkan di dalam DCT.
Sebelumnya, anggota KPU Hasyim Asy’ari menegaskan, pihaknya berpegangan kepada konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan mereka yang menjadi anggota DPD tidak boleh memiliki pekerjaan lain, yang ditafsirkan antara lain sebagai pengurus parpoi. Merujuk pada putusan MK tersebut, KPU memberi waktu hingga 22 Januari bagi Oesman untuk mengundurkan diri.
Putusan PTUN dan Bawaslu juga dinilai tidak serta-merta mengakibatkan DCT yang kini dipertahankan KPU kehilangan keabsahannya. ”Apakah dengan demikian DCT yang ada kini jadi tidak sah, itu akan kami sikapi selanjutnya setelah KPU menyikapi putusan Bawaslu,” kata Hasyim.
Kuasa hukum Oesman, Gugum Ridho Putra, menuturkan, pihaknya telah meminta ketua PTUN Jakarta untuk menerbitkan surat eksekusi atas putusan PTUN Jakarta itu kepada KPU. Selanjutnya, dalam waktu dekat, pihaknya akan meminta Bawaslu melaporkan KPU ke DKPP.
”Hanya Bawaslu yang bisa membawa problem ini ke DKPP. Nantinya yang berproses di sana adalah KPU dan Bawaslu. Kami tidak punya kewenangan hukum untuk membawa ini ke DKPP,” ujarnya.