JAKARTA, KOMPAS — Kehadiran hoaks yang menjamur sejak Pilkada DKI Jakarta 2017 dikhawatirkan dapat memengaruhi iklim demokrasi Indonesia di masa depan. Untuk itu, diperlukan penyusunan regulasi yang khusus untuk mengantisipasi disinformasi atau kabar bohong di media sosial, kemudian kekuatan kultural kebangsaan harus diperkuat kembali.
Direktur Moderate Muslim Society Zuhairi Misrawi menuturkan, kondisi demokrasi Indonesia telah berada di persimpangan jalan. Hal itu disebabkan maraknya produksi dan penyebaran hoaks yang berkaitan dengan kontestasi politik, baik di daerah maupun nasional.
”Sejak Pilkada 2017, demokrasi tidak lagi berkonotasi ide dan gagasan, tetapi menjadi konotasi hoaks, fitnah, dan ujaran kebencian di tengah masyarakat. Hoaks telah membentuk perpecahan di masyarakat,” ujar Zuhairi dalam diskusi bertajuk ”Hoaks, Integritas KPU, dan Ancaman Legitimasi Pemilu” di Jakarta, Jumat (18/1/2019).
Sejak Pilkada 2017, demokrasi tidak lagi berkonotasi ide dan gagasan, tetapi menjadi konotasi hoaks, fitnah, dan ujaran kebencian di tengah masyarakat. Hoaks telah membentuk perpecahan di masyarakat.
Menurut Zuhairi, penyebar hoaks adalah penjahat demokrasi. Padahal, lanjutnya, sendi-sendi demokrasi yang tumbuh di Indonesia telah mampu menghasilkan para pemimpin bangsa dari daerah yang membawa aspirasi masyarakat, di antaranya Presiden Joko Widodo, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, dan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini.
Ia pun berharap Pemilu 2019 tidak menurunkan kualitas demokrasi yang telah berjalan selama dua dekade. Sebab, kata Zuhairi, model demokrasi di Indonesia telah diakui oleh banyak negara, seperti Malaysia dan sejumlah negara Timur Tengah, yang menjadikan Indonesia sebagai contoh untuk menjalankan proses demokrasi.
Selain Zuhairi, hadir sebagai pembicara dalam agenda itu ialah peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Amin Mudzakir, dan Direktur Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti.
Amin menekankan, terdapat tiga aspek yang menyebabkan seseorang mudah terpapar hoaks atau kabar bohong, yaitu historis daerah, kultural, dan politik. Ia memaparkan, wilayah Jawa Barat dan Banten yang memiliki peristiwa di masa lalu terkait gerakan kelompok Islam radikal cenderung lebih mudah terpapar hoaks yang menyinggung soal paham keagamaan dan komunisme.
Lalu, masyarakat juga berpotensi terpengaruh hoaks ketika berada di lingkungan yang mudah menyebarkan hoaks. Terakhir, kontestasi politik yang menggunakan kabar bohong juga berperan memperbesar dampak hoaks bagi kehidupan berbangsa.
Oleh karena itu, Amin menekankan, perlu diterbitkan regulasi yang jelas dan tegas untuk mengatur informasi di dunia digital. Keberadaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik belum cukup untuk mencegah penyebaran hoaks karena regulasi itu bersifat aduan. Lalu, Amin berharap muncul penguatan nilai-nilai kultural di masyarakat.
”Terutama mendudukkan kembali agama sebagai perangkat nilai dan benteng moral untuk menghalangi laju hoaks,” kata Amin.
Secara terpisah, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo menuturkan, tim penyidik Bareskrim Polri telah merampungkan berkas penyidikan dua tersangka kasus penyebaran hoaks tujuh kontainer pembawa jutaan surat suara tercoblos. Berkas penyidikan LS dan HY telah diserahkan ke Kejaksaan Agung, Kamis kemarin.
Terkait dua tersangka lain, yaitu J dan pembuat hoaks tujuh kontainer pembawa jutaan surat suara tercoblos, BBP, Dedi menyatakan, pihaknya masih merampungkan berkas penyidikan keduanya.