Keberpihakan Mengelola Periuk Nasi PKL
PKL bagian dari warga kota. Andil mereka besar dalam perputaran roda ekonomi kota. Keberadaan PKL di pelosok Ibu Kota butuh dikelola dengan baik dan manusiawi.
Kericuhan antara pedagang kaki lima di Tanah Abang, Jakarta Pusat, dan petugas Satuan Polisi Pamong Praja DKI, Kamis (17/1/2019) siang, mengejutkan. Apalagi, selama ini penataan PKL Tanah Abang berjalan cukup persuasif.
Kini telah tersedia Jembatan Penyeberangan Multiguna Tanah Abang. JPM, yang selain sebagai penghubung stasiun kereta dan kompleks pusat perbelanjaan Tanah Abang, juga sebagai tempat khusus bagi PKL.
Namun, memang tidak semua PKL tertampung di JPM. Selain itu, sebagian PKL masih tidak yakin berdagang di JPM bakal menguntungkan. Untuk itu, sebagian PKL masih nekat berdagang di trotoar di jalan di bawah JPM yang seharusnya steril. Beberapa hari terakhir, penertiban PKL di bawah JPM pun meningkat.
Menurut Am, sejak Senin (14/1), Satpol PP makin ketat menertibkan PKL. Aparat tak segan mengangkut perkakas dan dagangan PKL meskipun telah dipindahkan dari trotoar.
Sehari sebelumnya, Eni Chaniago (44), PKL lainnya, mengatakan hal serupa. Karena cemas, jumlah PKL di trotoar merosot jauh. ”Saya nekat jualan sembunyi-sembunyi. Kalau tidak berdagang mau makan apa saya dan anak saya? Suami tidak ada,” kata Eni.
Polisi dan pemerintah kota setempat menyatakan kericuhan karena diduga ada provokator dari luar ikut memanaskan suasana. Namun, semua masih dalam penyelidikan.
Dari pantauan di trotoar Jalan Jatibaru, sejak Senin, jumlah PKL tidak sebanyak ketika akhir Desember 2018. Desember lalu, PKL masih banyak berdagang di trotoar, meskipun sebagian besar PKL sudah direlokasi ke JPM.
Penertiban oleh Satpol PP tidak efektif karena setelah petugas berlalu, PKL segera menggelar kembali dagangannya.
Berdasarkan informasi yang diperoleh Eni, tindakan itu dilakukan aparat karena JPM akan segera diresmikan oleh gubernur. Jadi trotoar benar-benar harus bebas PKL selama peresmian.
”Mudah-mudahan cuma seminggu ini saja, hingga peresmian selesai. Kalau terus-terusan, PKL di sini pasti demo karena kehilangan mata pencarian,” ujar Eni.
Ketua Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia Hoiza Siregar berpendapat, PKL berani menyerang aparat karena beberapa alasan. Pertama, PKL merasa tidak mendapatkan keadilan dari pemerintah sebagai regulator dalam memenuhi ekonomi mereka. Dalam penertiban, PKL tidak diberikan solusi, tetapi sekadar diusir.
Kedua, pemerintah atau petugas terkait tidak konsisten dalam menjalankan tugas. Menurut Hoiza, ketika tidak ada perintah dari atasan, petugas tidak melarang PKL berdagang meskipun melanggar aturan.
Namun, ketika ada perintah, petugas menertibkan PKL dengan sangat keras. Selain itu, ia yakin masih ada praktik pemberian upeti dari PKL kepada oknum aparat.
Hoiza menyarankan, jika ingin berhasil menata PKL, pemerintah mesti mencarikan solusi yang tepat. Dalam hal relokasi, misalnya, pemerintah harus menyediakan lokasi yang strategis dan mudah dijangkau pembeli sehingga tidak mengurangi omzet PKL.
Dilema JPM
Ratusan kios yang berderet di JPM Tanah Abang telah dipenuhi PKL dengan aneka barang dagangan, kemarin. Di kios-kios, pedagang pakaian berdampingan dengan pedagang kue basah dan minuman.
Mereka meletakkan gantungan baju, maneken, atau meja dan kursi untuk meletakkan barang jualan mereka di belakang garis kuning yang menjadi area kios mereka.
Para PKL berusaha menggaet pembeli dari kios 3 meter persegi dengan berteriak, ”Dibeli, dibeli, dibeli!” Beberapa lainnya memanggil ibu-ibu yang lewat, ”Mari, Bunda, silakan lihat dulu.”
Para komuter yang berlalu lalang menyempatkan diri melihat produk-produk yang ditawarkan. Tidak ada pengunjung yang tergesa-gesa di JPM yang teduh dan berangin itu.
Dini (23), pedagang baju di kios F108 JPM, merasa lebih senang berdagang di JPM karena suasananya yang nyaman. Dibandingkan berjualan di bawah tenda di atas trotoar Jalan Jatibaru Raya yang panas dan pengap, udara lebih sejuk di atas JPM. ”Paling-paling manekennya saja yang jadi sering jatuh gara-gara angin kencang,” katanya.
Kendati begitu, dari segi pendapatan, ada penurunan cukup signifikan. Sewaktu masih mengokupasi trotoar di area yang ditentukan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI, omzetnya bisa lebih dari Rp 5 juta per hari.
Di JPM, pendapatan hanya Rp 1 juta-Rp 2 juta. ”Wajar, soalnya masih baru. Tapi kalau disuruh dagang di bawah (trotoar Jalan Jatibaru Raya) lagi, saya mau-mau aja, sih,” kata Dini.
Dea (20), pedagang baju perempuan dan kerudung di kios T38, sependapat dengan Dini. ”Dulu, kami bebas dagang di trotoar, soalnya tempat itu dari pemerintah. Di situ, omzet sehari bisa Rp 20 juta. Sekarang jadi sedikit, paling banyak cuma Rp 5 juta, soalnya enggak begitu ramai. Ramainya paling cuma weekend,” kata Dea.
Tidak semua berpendapat sama. Ari (30), penyewa kios A10 JPM, malah bersyukur karena tidak ada perbedaan berarti dari segi pemasukan. Penghasilan di JPM tetap di kisaran Rp 5 juta per hari seperti saat ia harus berkeringat di bawah tenda di Jalan Jatibaru Raya. Biaya sewa kios Rp 500.000 per bulan pun dinilainya terjangkau.
”Dulu, di bawah, kita terpaksa tutup waktu hujan. Sekarang lebih nyaman karena kita enggak kepanasan dan kehujanan. Enggak desak-desakan juga,” katanya tersenyum.
Diversifikasi usaha
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance Bhima Yudhistira mengatakan, penurunan pendapatan PKL setelah pindah ke JPM tidak disebabkan oleh lokasi berdagang yang baru tersebut, melainkan reputasi daerah Tanah Abang sebagai sentral grosir pakaian utama selama bertahun-tahun. Sejauh mata memandang di kios-kios JPM, mayoritas PKL menjual pakaian jadi, seperti baju gamis, kaus, dan celana.
Jumlah pedagang pakaian dinilainya terlalu banyak, padahal tren pembeliannya saat ini tengah menurun. Belanja baju secara daring juga berkontribusi pada penurunan ini.
”Pemprov DKI Jakarta perlu menciptakan empat atau lima pasar lain seperti Tanah Abang sehingga PKL yang menjual pakaian tidak menumpuk semua di sana. Tempat-tempat baru itu juga perlu dipromosikan. Ini bisa jadi solusi jangka pendek bagi penurunan pendapatan PKL di Tanah Abang,” kata Bhima.
Sebagai solusi jangka panjang, Bhima menyarankan para PKL di Tanah Abang beralih dari usaha pakaian jadi ke makanan dan minuman. Tujuannya menciptakan diversifikasi produk yang ditawarkan di pasar tersebut.
Peluang meraup untung juga besar berkat digitalisasi layanan antar , seperti Go-Food dan Grab-Food.
Berdasarkan data Go-Food pada November-Desember 2018, pemesanan paket ayam mencapai 10 juta kali, paket nasi 3,5 juta kali, kopi 1,5 juta kali, gorengan 1,2 juta kali, dan martabak 700.000 kali (Kompas, 13 Januari 2019).
Untuk mendukung alih usaha ini, kata Bhima, pemerintah perlu turun tangan. ”Harapannya, tidak hanya ada dukungan melalui kredit usaha rakyat, tetapi juga skema kredit khusus dari Bank DKI.
Program OK Oce (One Kecamatan One Center for Enterpreneurship) juga bisa digunakan untuk membina para PKL, mulai dari tahap perencanaan sampai berwirausaha,” katanya. (E03/E04)