JAKARTA, KOMPAS – Komitmen penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia belum tercermin dari hasil debat pertama antara kedua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Padahal, masalah itu penting demi kemajuan penegakan HAM yang dinilai selalu berhenti setiap pergantian kepala pemerintahan.
Ketua Komisi Nasional HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan, upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Indonesia selalu dihadapkan pada persoalan-persoalan yang serius, seperti kompleksitas hukum dan kepentingan politik. Namun, komitmen untuk mengatasi persoalan itu belum terlihat dalam debat Pilpres 2019 pertama.
"Komitmen langkah-langkah strategis dari para paslon dalam menyelesaikan kompleksitas (penyelesaian kasus pelanggaran HAM) itu belum terlihat. Kami ingin pasangan ini bicara kepada publik yang lebih strategis supaya penyelesaian kasus-kasus HAM ada titik terang," ujar Ahmad dalam keterangan pers "Catatan Kritis Komnas HAM terhadap Komitmen HAM Capres dan Cawapres dalam Debat I Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden" di Jakarta, Jumat (18/1/2019).
Saat ini, setidaknya ada 10 berkas kasus pelanggaran HAM berat yang belum selesai penuntasannya. Mulai dari peristiwa 1965-1966; kasus Talangsari, Lampung, 1989; peristiwa penembakan misterius 1982-1985; peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II; peristiwa kerusuhan Mei 1998; peristiwa penghilangan orang secara paksa 1997-1998; Wasior dan Wamena; peristiwa Simpang KAA 3 Mei 1999 di Provinsi Aceh; kasus Rumah Geudong dan Pos Sattis di Provinsi Aceh; serta kasus pembunuhan dukun santet di Jawa Timur 1998-1999.
Menurut Ahmad, para paslon masih belum menyentuh substansi dari penegakan hukum dan HAM. Mereka belum berani menjabarkan langkah-langkah konkret dan strategis dalam upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat, baik secara yurdis, maupun rekonsiliasi.
"Kalau bicara pelanggaran HAM berat, harus jelas, komitmen dia (Presiden) melakukan penyelidikan itu, apakah bisa memastikan? Karena, kan, selama ini berhenti di situ-situ saja. Lalu, kalau mau rekonsiliasi, konsepnya seperti apa? Supaya pilihan publik itu punya dasar, memilih paslon ini karena ada harapan penuntasan kasus HAM," tutur Ahmad.
Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM Amiruddin menambahkan, hampir selama 20 tahun reformasi bangsa Indonesia, upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM jalan di tempat. Hal itu seharusnya menjadi refleksi bagi proses politik nasional.
"Sayangnya, refleksi ini enggak ada, baik dari pemerintah yang sebelumnya sampai hari ini. Upaya penuntasan selalu mengalami kemandekan (berhenti). Padahal, agenda HAM itu harus muncul dari pemimpin negaranya dahulu," tutur Amiruddin.
Meski demikian, Amiruddin melihat, masih ada kesempatan untuk menggali komitmen capres-cawapres dalam penuntasan HAM itu di debat berikutnya. "Komnas HAM mendorong agar isu-isu HAM dapat dikorelasikan dengan tema dalam debat-debat setelah ini," katanya.
Secara terpisah, Wakil Ketua Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Eddy Soeparno, mengatakan, keterbatasan waktu dalam debat membuat paslon tidak leluarsa menyampaikan gagasan kepada publik.
“Segala sesuatunya tidak mungkin disampaikan secara komprehensif dan detail,” ujar Eddy.
Meski demikian, menurut Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional itu, jika ada pihak yang menginginkan penjelasan komprehensif terkait isu HAM, hendaknya pihak tersebut menyediakan forum khusus dengan mendatangkan kedua pasangan calon.
“Dengan itu jauh lebih realistis untuk mendapatkan penjelasan yang jauh lebih detail dan realistis,” kata Eddy.
Komitmen bersama
Sementara itu, juru bicara Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma\'ruf Amin, Ace Hasan Syadzily, menuturkan, komitmen Jokowi-Ma\'ruf Amin dalam upaya penyelesaian kasus HAM sebenarnya secara tegas telah dijabarkan dalam visi-misi. Masyarakat kelak bisa menagih komitmen itu jika Jokowi-Ma\'ruf terpilih.
"Kalau dilihat dari komitmen, itu bisa ditagih karena ada di visi misi Pak Jokowi dan Pak Ma\'ruf. Kami, jelas sekali dalam visi misi kami, disebutkan bahwa salah satunya penyelesaian kasus HAM masa lalu," tutur Ace.
Namun, ketika ditanya apa yang telah dilakukan Jokowi selama hampir lima tahun masa pemerintahannya dalam upaya penyelesaian kasus HAM, Ace mengungkapkan, kerapkali kepentingan politik menghambat proses tersebut, terutama secara yudisial. Selain karena keterbatasan alat bukti, ternyata kesadaran untuk membuat rekomendasi membentuk peradilan HAM tak pernah ada.
"Kentenuan peradilan HAM itu dibutuhkan rekomendasi dari DPR. Jadi, memang komitmen itu harus datang bersama-sama, bukan hanya domain pemerintah, tetapi juga negara, eksekutif dan legislatif," tuturnya. (FAJAR RAMADHAN)