Lapak Tempat Pekerja Tewas Tergiling Mesin Diduga Tak Berizin
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·3 menit baca
BEKASI, KOMPAS – Seorang pekerja di lapak pengolahan sampah Kelurahan Sumurbatu, Kecamatan Bantargebang, Kota Bekasi, tewas tergiling mesin pencacah plastik, Kamis (17/1/2019). Lapak tersebut diduga tidak berizin resmi.
Sariman (36), pekerja di lapak pengolahan sampah PD Laju Mandiri RT 02 RW 04 Kelurahan Sumurbatu, Kecamatan Bantargebang, Kota Bekasi, tewas tergiling mesin pencacah plastik. Seluruh tubuhnya hancur, hanya tersisa bagian kaki. “Dugaan awal, ia mengantuk atau terpeleset. Tidak ada indikasi bunuh diri,” kata Kepala Kepolisan Sektor Bantargebang Komisaris Siswo di Bekasi, Jumat (18/1/2019).
Siswo melanjutkan, setelah mengevakuasi dan mengolah tempat kejadian perkara, pihaknya memeriksa tiga saksi. Sebanyak dua di antaranya adalah pekerja lapak yang berada di lokasi ketika peristiwa terjadi, yaitu Ahmad dan Ahyat. Saksi lain adalah pemilik lapak, AM.
Namun, pemeriksaan belum tuntas. Ketiga saksi trauma atas tewasnya Sariman. Mereka masih kerap pingsan saat mengingat kejadian tersebut.
“Berdasarkan pemeriksaan sejauh ini, kami menduga lapak tidak memiliki izin resmi dan tidak memenuhi standar ketenagakerjaan,” kata Siswo. Jika terbukti, AM bisa ditetapkan sebagai tersangka dengan sangkaan melanggar Pasal 359 kitab undang-undang hukum pidana (KUHP).
Berdasarkan pemeriksaan sejauh ini, kami menduga lapak tidak memiliki izin resmi dan tidak memenuhi standar ketenagakerjaan
Dalam pasal tersebut, dijelaskan bahwa barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain tewas, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
Lapak
Siswo menambahkan, AM merupakan mantan pekerja pengolah sampah di Kabupaten Bekasi. Pengalaman, kompetensi, dan modal yang cukup mendorongnya untuk membuka lapak milik sendiri di Sumurbatu, Bantargebang, empat tahun lalu. Pasokan barang pun diambil dari Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bantargebang.
Lapak yang sudah beroperasi empat tahun itu mempekerjakan empat orang dengan beberapa pembagian tugas. Tugas tersebut antara lain memasukkan sampah plastik ke mesin pencacah, mengemas hasil cacahan, dan mencuci hasil cacahan. Sariman bertugas memasukkan sampah ke mesin pencacah, ia baru bekerja sekitar dua minggu.
“Jam operasional lapak sekitar pukul 07.00-17.00,” ujar Siswo. Waktu kerja tidak sampai malam karena suara mesin pencacah amat bising. Suara mesin berpotensi mengganggu warga karena letak lapak yang berada di tengah permukiman.
Lapak berdiri di lahan seluas 200 meter persegi. Dibangun menggunakan besi, tripleks, dan asbes. Daerah sekelilingnya dipagari seng. Tidak ada papan nama usaha. Lokasi lapak juga sulit dijangkau dari jalan raya karena jalan berliku dan melewati kebun dengan pepohonan yang rimbun.
Di dalam lapak, terdapat ruang untuk tumpukan sampah plastik, timbangan, dan mesin pencacah. Adapula ruangan loteng untuk beristirahat para pekerja.
Sami (49), warga yang rumahnya berjarak 50 meter dari lapak mengatakan, lapak tersebut didirikan empat tahun lalu. Pemilik sempat meminta tanda tangan dari beberapa rumah yang berada tepat di depan lapak.
“Selain itu, AM memberikan kami uang Rp 100.000 untuk imbalan tanda tangan,” kata dia. Namun, Sami tidak mengetahui tanda tangan tersebut selanjutkan digunakan untuk apa.
AM juga dikenal baik oleh warga. Ia dan istrinya kerap datang ke lapak membawa makanan. “Mereka juga sering memberi bingkisan Lebaran,” kata Sami.