Peserta BPJS Bakal Dikenai Biaya Saat Berobat
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah akan mengeluarkan ketentuan urun biaya untuk menekan pelayanan kesehatan yang tidak diperlukan. Ketentuan ini diberlakukan bagi jenis pelayanan kesehatan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan pelayanan dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat.
Urun biaya merupakan usulan ketentuan dari Kementerian Kesehatan yang diberlakukan untuk peserta JKN-KIS. Jika urun biaya diperlakukan, peserta JKN-KIS akan dikenai biaya tambahan saat berobat.
Sebelumnya peserta JKN-KIS berobat tidak dikenai biaya sama sekali. Akibatnya, banyak peserta JKN-KIS yang diduga menyalahgunakan. Dalam beberapa kasus, orang sakit yang seharusnya bisa minum obat di rumah, tetapi karena disalahgunakan, mereka tetap pergi ke rumah sakit karena gratis. Ketentuan urun biaya ini diharapkan bisa menekan pelayanan yang tidak perlu.
Deputi Direksi Bidang Jaminan Pembiayaan Kesehatan Rujukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Budi Mohamad Arief menjelaskan, urun biaya akan diberlakukan ketika peserta berobat pada pelayanan tertentu yang dapat disalahgunakan karena perilaku dan selera peserta.
”Saat ini ketentuan urun biaya belum diberlakukan dan masih dalam proses penetapan berdasarkan usulan dari BPJS Kesehatan, organisasi profesi, dan asosiasi fasilitas kesehatan,” kata Budi dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (18/1/2019).
Saat ini, ketentuan urun biaya belum diberlakukan bagi peserta JKN-KIS. Menurut rencana, Menteri Kesehatan Nila Moeloek akan membentuk tim yang terdiri dari BPJS Kesehatan, organisasi profesi, asosiasi fasilitas kesehatan, akademisi, dan Kementerian Kesehatan.
Tim ini akan mengkaji penetapan jenis-jenis pelayanan kesehatan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan pelayanan JKN-KIS yang akan diberlakukan ketentuan urun biaya.
Selanjutnya, menurut Budi, tim tersebut akan menguji ke publik sebelum ditetapkan oleh Menkes. Ketika sudah ditetapkan oleh Menkes, selanjutnya akan disosialisasikan ke masyarakat dan diimplementasikan kepada peserta JKN-KIS.
Budi menambahkan, BPJS Kesehatan juga akan menyosialisasikan sebelum diimplementasikan ke peserta JKN-KIS. Dengan demikian, sepanjang jenis pelayanan kesehatan yang dapat dikenai urun biaya belum ditetapkan oleh Menkes, belum ada jenis pelayanan kesehatan dalam program JKN yang dapat dikenai urun biaya.
Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Ma’ruf menjelaskan, urun biaya akan dikenai kepada pasien rawat jalan sebesar Rp 20.000 setiap kunjungan ke rumah sakit kelas A dan B.
”Untuk kunjungan rawat jalan di rumah sakit kelas C, D, dan klinik utama sebesar Rp 10.000 untuk sekali kunjungan,” kata Iqbal.
Adapun jumlah urun biaya maksimal, yaitu Rp 350.000, untuk paling banyak 20 kali kunjungan dalam waktu tiga bulan.
Untuk rawat inap, besaran urun biayanya adalah 10 persen dari biaya pelayanan yang dihitung dari total tarif INA CBG’s (Indonesia Case Base Groups) atau model pembayaran yang digunakan BPJS Kesehatan untuk mengganti klaim yang ditagihkan oleh rumah sakit. Besaran paling tinggi urun biaya untuk rawat inap adalah Rp 30 juta.
BPJS Kesehatan akan membayar klaim rumah sakit dikurangi besaran urun biaya. Peserta JKN-KIS akan membayar kepada fasilitas kesehatan setelah pelayanan kesehatan diberikan.
Peraturan menteri
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Oscar Primadi mengatakan, aturan terkait urun biaya dalam Program Jaminan Kesehatan sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 Tahun 2018.
”Urun biaya sudah diatur dalam Pasal 22 Ayat (2) UU Nomor 40 Tahun 2004. Dinyatakan, untuk jenis pelayanan kesehatan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan pelayanan dikenai urun biaya,” kata Oscar.
Dalam penyusunan peraturan menteri kesehatan (permenkes) tersebut, Kementerian Kesehatan telah melibatkan Persi (Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia), Arsada (Asosiasi Rumah Sakit Daerah), ARSI (Asosiasi Resin Sintetik Indonesia), IDI (Ikatan Dokter Indonesia), PDGI (Persatuan Dokter Gigi Indonesia), serta beberapa kolegium.
Selain mengatur terkait urun biaya, permenkes ini juga memuat aturan terkait selisih biaya. Oscar mengatakan, selisih biaya dikenai terhadap peserta JKN yang naik kelas pada saat rawat inap maupun rawat jalan di poliklinik eksekutif.
Selisih biaya pada saat naik kelas tidak berlaku untuk penerima bantuan iuran (PBI) dan peserta JKN yang iurannya dibayar pemerintah daerah, serta pekerja penerima upah (PPU) yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).
Oscar mengatakan, naik kelas atas permintaan sendiri hanya boleh satu kelas di atas hak peserta JKN. ”Hal tersebut bertujuan mengurangi potensi kecurangan peserta yang membayar premi rendah dan naik kelas ke VIP saat dirawat atau membutuhkan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Selain itu, ketentuan ini untuk mendorong agar terjadi gotong royong,” ujarnya.
Bagi peserta JKN yang haknya di kelas I dan naik ke kelas perawatan satu tingkat di atasnya, selisih biaya yang harus dibayar maksimal 75 persen dari tarif INA CBG’s kelas I. Bagi peserta JKN kelas III yang naik ke kelas II atau kelas II yang naik ke kelas I, selisih biaya yang harus dibayar adalah sebesar selisih tarif INA CBG’s antarkelas.
Oscar mengatakan, ketentuan terkait selisih biaya telah diberlakukan sejak 17 Desember 2018. Namun, pada ketentuan ini masih akan dikaji kembali.
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi mengatakan, Permenkes ini perlu diperbaiki karena ada beberapa kekurangan. ”Ada potensi tidak semua yang ada di lapangan mampu menerapkan aturan ini,” kata Tulus.
Ia menegaskan agar tim khusus BPJS Kesehatan dan Kemenkes segera mengategorikan tindakan medis yang harus dikenai urun biaya. Aturan ini akan berpotensi adanya biaya ilegal.
Tulus menjelaskan, ada tren rumah sakit yang meminta pengobatan yang lebih mahal. Sebagai contoh, orang yang seharusnya dapat melahirkan secara normal, tetapi diminta operasi caesar.
”Ada opini yang mengatakan perempuan lebih aman operasi sesar dibandingkan melahirkan secara normal, padahal itu hanya untuk kepentingan ekonomi,” katanya.