JAKARTA, KOMPAS — Meski penegakan hukum berupa penyitaan 384 kontainer berisi kayu merbau hasil pembalakan liar diapresiasi sejumlah pihak, pemerintah juga didesak memperbaiki tata kelola hutan, terutama sistem verifikasi legalitas kayu atau SVLK. Tanpa perbaikan di hulu, kejadian serupa bisa berulang dan menurunkan kepercayaan internasional terhadap sumber kayu legal dan berkelanjutan dari Indonesia.
Pengungkapan pembalakan liar di Papua bukan kali ini saja. Pada 2003-an, Kementerian Kehutanan (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) merilis, setiap bulan, 600.000 meter kubik kayu ilegal keluar dari Papua dengan negara tujuan China, India, dan Vietnam.
Pada 2005 ketika pembalakan liar kembali marak dengan berkedok izin pemanfaatan kayu masyarakat adat (IPKMA), pemerintah dan aparat dipaksa memberantas kegiatan tersebut melalui Operasi Hutan Lestari II. Saat itu, ratusan IPKMA diterbitkan melalui koperasi masyarakat (kopermas).
”Kalau represif penegakan hukum seperti ini terus, napasnya enggak akan panjang, akan berulang lagi dan lagi,” kata Syahrul Fitra Tanjung, peneliti Yayasan Auriga Nusantara, Jumat (18/1/2019), di Jakarta.
Ia mengatakan, penyitaan 384 kontainer berisi kayu merbau ilegal dari Papua ini membuka berbagai celah dan lubang dalam SVLK. Ia berharap KLHK aktif mengevaluasi kebijakan SVLK.
Guru Besar Kehutanan Universitas Gadjah Mada Ahmad Maryudi memandang SVLK merupakan kebijakan yang cukup menjanjikan. Instrumen ini dibangun melalui proses panjang dan pelibatan banyak pihak serta mendapat pengakuan luas.
Meski demikian, ia tak menafikan berbagai persoalan terkait implementasi dan kontrol di lapangan. Ia menyoroti pada proses audit masih sebatas pada pemenuhan dokumen administratif. Audit ini acap kali tak menyentuh verifikasi lapangan ataupun proses dokumen tersebut didapatkan.
Ia pun menyarankan agar SVLK yang mengatur hulu-hilir bisnis dan tata kelola kehutanan memiliki payung regulasi lebih tinggi. ”SVLK ini hanya menjadi domain KLHK yang diatur peraturan menteri. Mungkin akan lebih optimal jika SVLK diatur dalam produk regulasi yang lebih tinggi, semisal peraturan pemerintah,” katanya.
Saat SVLK diatur melalui peraturan pemerintah, lintas kementerian pun bertanggung jawab memastikan sistem berjalan baik. ”Sinergi antarsektor/lembaga juga perlu ditingkatkan. Kadang kala institusi lain, semisal aparat kepolisian, dan lembaga yang terkait perizinan usaha masih awam juga dengan kebijakan SVLK ini,” kata Ahmad.
Kelemahan sistem ini pun ditemukan Auriga pada industri kayu di Jayapura, Papua, yang bisa memperoleh sertifikat legalitas kayu meski sedang menjalani penyelidikan atas keterlibatan pembalakan liar. ”Padahal, aturannya penilaian sertifikasi tidak boleh dilakukan apabila masih tersangkut kasus, tetapi kok bisa mendapat sertifikat di tahun yang sama, 2017,” kata Syahrul.