PALU, KOMPAS — Kelompok rentan dalam pemulihan pascabencana di Sulawesi Tengah tak didata secara khusus dari penyintas umum. Akibatnya, hak-hak mereka terabaikan.
Hal itu mengemuka dalam diskusi yang diselenggarakan Internews, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Palu, dan Kabar Sulteng Bangkit di Palu, Sulteng, Jumat (18/1/2019). Kelompok rentan merujuk pada perempuan, anak, penyandang disabilitas, dan warga lanjut usia.
Abas, fasilitator dari organisasi Humanity and Inclusion, menuturkan, pihaknya menemukan dua anak penyandang disabilitas tak lagi melanjutkan pendidikan. Hal itu disebabkan tidak ada yang memfasilitasi mereka untuk pergi ke sekolah.
Di tempat lain, ditemukan orang lanjut usia yang harus membayar tagihan jasa perawatan di rumah sakit. Padahal, dalam kondisi bencana, negara menanggung biaya perawatan penyintas.
Kepala Bidang Pemenuhan Hak Anak dan Perempuan Dinas Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak Sulteng Sukarti mengakui, tak ada pendataan khusus untuk kelompok rentan. Hal ini berdampak pada tak terarahnya intervensi yang diberikan kepada mereka. Pihaknya mendorong kabupaten/kota untuk memilah kelompok rentan dari penyintas dan pengungsi umum.
Namun, Sukarti menegaskan, hak kelompok rentan tetap dijamin. Ia mencontohkan, banyak anak penyandang disabilitas yang mendapatkan fasilitas kursi roda. Selain itu, kasus kekerasan terhadap perempuan diproses secara hukum. Pihaknya tengah mengawal proses hukum kasus pemerkosaan terhadap seorang anak. Kasus itu saat ini ditangani Kepolisian Daerah Sulteng.
Child Protection Manager Yayasan Sayangi Tunas Cilik Wiwit Sri Arianti menyebutkan, kelompok rentan harus menjadi perhatian di pengungsian. Meskipun tak menyebutkan jumlah kasus, ia menyebut berdasarkan laporan di 30 posko yang mereka bangun terungkap adanya kasus kekerasan, yakni pencabulan.
”Pemerintah dan lembaga sosial tetah bekerja dengan baik, tetapi perlu meningkatkan layanan dan mendesain cara untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap kelompok rentan,” katanya.
Desain yang dimaksud, misalnya, pemilihan koordinator atau manajer di setiap kompleks pengungsian atau hunian sementara. Ia bertanggung jawab atas semua keberlangsungan hidup penyintas, termasuk mencegah dan melaporkan adanya tindak kekerasan.
Sebagai gambaran, merujuk data Lembaga Swadaya Masyarakat Libu Perempuan Sulteng, selama masa pengungsian hingga pertengahan Desember 2018, tercatat terjadi 25 kasus kekerasan berbasis jender. Bentuknya kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual terhadap anak, dan percobaan perdagangan anak.
Kasus-kasus tersebut terjadi di tenda-tenda pengungsian di Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Donggala, tiga daerah yang terdampak gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi pada 28 September 2018.