Sistem pendidikan mitigasi bencana mulai disusun. Pendidikan mitigasi bencana akan disinergikan dengan pendidikan masyakarakat.
JAKARTA, KOMPAS – Taruna Siaga Bencana akan dikerahkan untuk membantu sekolah-sekolah melaksanakan pendidikan mitigasi bencana, terutama di wilayah yang telah dipetakan rawan bencana. Hal ini agar pendidikan mitigasi bencana bisa bersinergi dengan pendidikan masyarakat dan bisa membangun jejaring evakuasi menyeluruh.
Hal itu dibahas dalam pertemuan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy dengan Menteri Sosial Agus Gumiwang Kartasasmita di kantor Mendikbud di Jakarta, Kamis (17/1/2019). “Ini baru pertemuan awal yang merupakan lanjutan dari perintah Presiden Joko Widodo mengenai pendidikan mitigasi bencana yang tersistem di sekolah,” kata Muhadjir.
Ia menuturkan, target pada akhir Januari sudah ada langkah konkret. Kementerian Sosial sebagai lembaga utama terkait mitigasi bencana mempunyai (Taruna Siaga Bencana) Tagana, sementara Kemdikbud memiliki sekolah-sekolah. Sektor-sektor ini harus berkolaborasi secara berkesinambungan.
Kemdikbud bersama Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak (Unicef) sudah mengeluarkan modul pendidikan kebencanaan pada tahun 2015 yang disebar ke dinas-dinas pendidikan. Kementerian ini juga memiliki Sekretariat Nasional Satuan Pendidikan Aman Bencana yang bersinergi dengan Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB). Mereka memetakan bahwa 37.000 sekolah berada di wilayah rawan bencana dengan 2.892 sekolah di atas jalur patahan gempa. Jumlah ini belum termasuk madrasah dan pesantren yang belum dipetakan.
“Selain memberi pengetahuan mengenai mitigasi bencana, juga ada pelatihan keterampilan dan simulasi menghadapi situasi bencana,” ucap Muhadjir. Pengoptimalan ekstrakurikuler Pramuka dan Palang Merah Remaja merupakan salah satu pendekatan yang bisa dilakukan.
Selain memberi pengetahuan mengenai mitigasi bencana, juga ada pelatihan keterampilan dan simulasi menghadapi situasi bencana.
Agus Gumiwang Kartasasmita mengungkapkan, terdapat 40.000 Tagana tersebar di Indonesia. Selain itu, ada 65.000 relawan dan sahabat Tagana yang terdaftar. Mereka merupakan kekuatan untuk memastikan berjalannya pendidikan mitigasi bencana di masyarakat.
Berdayakan siswa
Secara terpisah, Andalan Nasional Gerakan Pramuka Bambang Sasongko menjelaskan, siswa adalah kelompok rentan di dalam bencana. Gerakan Pramuka bertujuan memberdayakan siswa dengan cara mengajarkan mereka cara bertahan hidup secara sosial maupun menghadapi alam.
“Segala hal yang diajarkan di Pramuka bertujuan memberi anggotanya kemampuan untuk menjaga kelestarian alam guna mencegah terjadinya bencana. Namun, mereka juga diberi keterampilan melakukan tindakan cepat tatkala bencana terjadi,” ucapnya.
Pada level Siaga, yaitu usia 7-10 tahun pendidikan mitigasi bencana dilakukan melalui permainan dan nyanyian. Level Penggalang (11-15 tahun), Penegak (12-20 tahun), dan Pandega (21-25) dilakukan pelatihan pertolongan pertama pada kecelakaan, kegiatan mitigasi di wilayah lokal, dan sosialisasi kepada masyarakat sekitar.
Bambang mengatakan, Pramuka bekerja sama dengan BNPB sudah menerbitkan buku saku mitigasi bencana untuk setiap tingkat Pramuka. Materi dalam buku tersebut digunakan sebagai topik latihan Pramuka setiap pekan.
Pramuka bekerja sama dengan BNPB sudah menerbitkan buku saku mitigasi bencana untuk setiap tingkat Pramuka.
Walaupun begitu, dinas-dinas pendidikan di provinsi dan kabupaten/kota umumnya tetap menunggu adanya payung hukum mengenai pendidikan mitigasi bencana. Alasannya karena aturan kurikulum dan jam kerja guru yang ketat mengakibatkan penyisipan materi mitigasi dan pembuatan muatan lokal tentang kebencanaan tidak bisa maksimal. (Kompas, 7 Januari 2019).