JAKARTA, KOMPAS—– Pemerintah perlu terus memperkuat struktur perekonomian nasional di tengah gejolak ekonomi global. Defisit transaksi berjalan dinilai tidak cukup dengan mengandalkan masuknya arus modal asing.
Sebab, defisit berakar dari semua komponen neraca, terutama neraca perdagangan yang tahun lalu mencapai ”rekor” terdalam dengan defisit 8,57 miliar dollar AS.
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Perekonomian Iskandar Simorangkir di Jakarta, Jumat (18/1/2019), menyatakan, ketergantungan terhadap arus modal asing, terutama investasi portofolio, karena tabungan dalam negeri masih kurang. Kondisi ini mengakibatkan rentang tabungan investasi (saving investment gap) negatifnya cukup besar.
Saat ini, hampir semua komponen transaksi berjalan mengalami defisit, yaitu neraca jasa, neraca perdagangan, dan pendapatan primer berupa repatriasi laba perusahaan asing. Defisit terbesar berasal dari pendapatan primer yang pada triwulan III-2018 negatif 8,02 miliar dollar AS. Sementara surplus pendapatan sekunder relatif kecil, yakni 1,8 miliar dollar AS.
Bank Indonesia mencatat, defisit transaksi berjalan triwulan I, II, dan III pada 2018 mencapai 22,4 miliar dollar AS. Angka ini melampaui defisit transaksi berjalan tahun 2016 sebesar 17 miliar dollar AS dan tahun 2017 sebesar 17,33 miliar dollar AS.
Dalam rangka memperbaiki neraca perdagangan, kata Iskandar, pemerintah berupaya memacu ekspor dan mengurangi impor dengan substitusi barang. Namun, implementasinya sangat bergantung pada kondisi perekonomian global.
Ekonom Bank Pembangunan Asia (ADB) Institute, Eric Alexander Sugandi, berpendapat, evaluasi kebijakan peningkatan ekspor jangan terbatas pada capaian angka. Kendati ekspor mulai naik, laju pertumbuhan impor jauh lebih tinggi sehingga defisit pada triwulan IV-2018 makin dalam. Ketidakpastian ekonomi global bukan alasan karena masalah defisit sudah menahun.
Badan Pusat Statistik mencatat, nilai impor selama tahun 2018 mencapai 188,6 miliar dollar AS, tumbuh 20,2 persen dibandingkan tahun 2017. Sementara ekspor hanya tumbuh 6,7 persen.
”Pendekatannya harus komprehensif. Pemberian insentif tarif hanya untuk jangka pendek, sementara masalah defisit jangka panjang,” ujarnya.
Impor migas hanya bisa diatasi dengan merealisasikan pembangunan kilang baru dibarengi pembangunan transportasi publik secara masif. Tahun ini, tantangan ekspor masih besar sehingga impor yang harus direm agar neraca dagang bisa surplus.
Investasi portofolio
Bank Dunia dalam laporan triwulanan perekonomian Indonesia 2018 menyoroti reformasi struktural untuk mempercepat peningkatan ekspor dan penanaman modal asing. Pertumbuhan ekspor yang lambat dan investasi asing langsung yang terbatas menyebabkan Indonesia sangat bergantung pada investasi portofolio.
Kepala Ekonom dan Riset PT Bank UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja mengatakan, pemerintah seharusnya fokus menarik investasi asing langsung, bukan pada investasi portofolio yang bisa keluar kapan pun.
Penanaman modal asing langsung diperlukan untuk membangun industri ekspor bernilai tambah. Upaya mendorong ekspor sulit terwujud tanpa adanya investasi asing langsung. (KRN)