Bahaya Normalisasi Intoleransi
Peristiwa pemakaman di makam Jambon, Purbayan, Yogyakarta (Senin, 17 Desember 2018) memunculkan indikasi intoleransi bagi beberapa kalangan. Kejadian ini menjadi catatan penting di pengujung tahun 2018 tentang kehidupan yang toleran antarmasyarakat. Jika peristiwa tersebut dianggap lumrah, tindakan intoleransi sejenis itu akan seterusnya dianggap wajar.
Kisah tentang pemakaman alm Albertus Slamet Sugihardi, cepat tersebar melalui kanal-kanal berita dan media sosial. Polemik pro dan kontra terjadi manakala dalam berita tersebut tersertakan juga foto mengenai nisan berwujud salib yang dipotong warga setempat. Alasan yang dipakai, itu adalah makam Muslim dan pemotongan salib sudah dengan persetujuan keluarga almarhum. Situasi makin diperkeruh karena berita dan foto yang tersebar diikuti keterangan yang dibuat berdasarkan persepsi si pembagi.
Meskipun dari pihak keluarga almarhum dan perwakilan warga sudah mengklarifikasi kejadian atas dasar kesepakatan bersama tersebut, sikap reaktif yang menentang keputusan itu datang dari beberapa kalangan. Lembaga-lembaga itu antara lain, SETARA Intitute, Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS), Komisi Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan, (KKPKC), serta hasil Forum Gerakan Masyarakat Yogyakarta Melawan Intoleransi (gabungan beberapa forum masyarakat).
Pandangan mereka senada, peristiwa tersebut merupakan tindakan intoleransi, apalagi sebelumnya keluarga korban juga diminta melaksanakan ibadah pelepasan jenazah di gereja, tidak boleh di rumah keluarga almarhum.
Lantas, bagaimana dengan kesepakatan bersama yang sudah tertulis hitam di atas putih antara keluarga almarhum dan perwakilan warga? Mengenai hal ini, Halili, Direktur SETARA Institute, menuliskan bahwa kesepakatan itu merupakan bentuk ”penundukan” sosial kepada pihak almarhum yang secara kuantitatif sedikit di wilayah itu dan secara sosio-politis lemah. Semuanya dilakukan dengan dalih demi menjaga kerukunan. Penegasan ini terdapat dalam poin kedua dalam pernyataan press release resmi SETARA Institute.
”Kota Toleran”
Melihat data yang sebelumnya juga dikeluarkan SETARA Institute mengenai Indeks Kota Toleran 2018, Yogyakarta masih berada di kluster orange dengan skor toleransi 4.883 dan berada di peringkat ke-41 dari 94 kota yang dinilai. Artinya, posisi toleransi kota Yogyakarta tak istimewa-istimewa amat seperti namanya.
Membahas tentang indikator toleransi kota Yogyakarta, Halil menuliskan bahwa Yogyakarta masih perlu perbaikan di 3 dari 8 indikator yang menjadi standar penilaian. Ketiga indikator itu adalah rencana pembangunan, tindakan pemerintah, dan inklusi sosial keagamaan.
Di tingkat nasional, status kota paling toleran disandang Singkawang dengan perolehan skor 6.513, diikuti Salatiga (6.477) dan Pematang Siantar (6.280). Di posisi tiga terendah, ibu kota DKI Jakarta termasuk di dalamnya dengan skor 2.880, di bawahnya Banda Aceh (2.830) dan Tanjung Balai (2.817). Yogyakarta sendiri posisinya berada di antara Samarinda (peringkat ke-40, skor 4.900) dan Banjar (peringkat ke-42, skor 4.880)
Sebelumnya, pada November 2017, CRCS turut mengeluarkan kajian berjudul ”Krisis Keistimewaan: Kekerasan terhadap Minoritas di Yogyakarta”. Dalam kajiannya, CSCR mencatat, sepanjang 2013 hingga 2017 terdapat 55 kasus vigilantisme atau kekerasan terhadap kaum minoritas di Yogyakarta. Dalam riset ini, minoritas yang dimaksud bukan sebatas perihal agama, melainkan juga seperti pembubaran acara kesenian dan diskusi ataupun kekerasan kepada aktivis dan kaum LGBTQ.
Meski demikian, CRCS menegaskan bahwa Yogyakarta sesungguhnya memiliki modal sosial sebagai daerah multikultural. Menyeruaknya tindakan kekerasan dan intoleransi dianggap tidak mewakili kultur harmoni yang masih kuat. Hal ini dibuktikan dengan merujuk pada masih maraknya kegiatan- kegiatan yang bersifat publik di Yogyakarta, seperti upacara-upacara, perayaan-perayaan, pesta-pesta, baik tradisional maupun modern, baik religius maupun sekuler, seperti selametan, kenduren, sekaten, labuhan, serta dangdutan dan pertunjukan teater modern.
Batu kerikil
Polemik yang terjadi di Yogyakarta dapat diibaratkan sebagai batu kerikil dalam sepatu bagi Indonesia. Bagaimana tidak, dalam penilaian global, Indonesia dianggap sebagai negara yang memiliki kemajuan dalam menerapkan toleransi sosial antarwarga negaranya. Setidaknya, The Legatum Prosperity Index (lembaga nirlaba yang meneliti 149 negara) memberikan penilaian demikian.
Berdasarkan laporan The Legatum Prosperity Index 2018 (bidang kebebasan individu dan toleransi sosial), untuk tahun 2017 Indonesia menduduki peringkat ke-115 dari 149 negara yang dinilai. Dengan perolehan skor 44,31, Indonesia memang masih belum dikatakan sepenuhnya negara toleran, tetapi sedang mengalami perkembangan. Pada tahun sebelumnya, Indonesia berada di peringkat ke-128 dengan skor 41,16.
Meskipun mengalami peningkatan, harus disadari bahwa pada bidang inilah Indonesia memperoleh skor terendah dibandingkan kesembilan bidang lainnya. Peningkatan ditunjukkan dari bidang ekonomi yang naik 6 peringkat dan lingkungan hidup yang naik 7 peringkat. Artinya, perhatian untuk kebebasan individu dan toleransi sosial masih perlu mendapat perhatian dari waktu ke waktu.
Masih berdasarkan laporan yang sama, jika Indonesia dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, hasilnya medioker. Filipina menduduki peringkat teratas di ASEAN dengan skor 63,49, sedangkan paling buncit ditempati Thailand yang hanya memperoleh 41,86. Sementara itu, tetangga sebelah, Malaysia, menempati posisi kedua terbawah (skor 42,22).
(https://www.prosperity.com/rankings?pinned=IDN&rankOrScore=1&filter=)
Apabila sajian data itu disandingkan dengan peristiwa di Yogyakarta, kasus intoleransi tak ubahnya kerikil dalam sepatu Indonesia yang sedang melangkah maju. Ungkapan ini juga pernah dituliskan Ali Alatas, diplomat ulung Indonesia dalam bukunya, The Pebble in the Shoe: The Diplomatic Struggle for East Timor (2006). Bedanya, kerikil yang ia maksud adalah kasus Timor Timur yang mencuat di tengah usaha Indonesia dalam membangun diplomasi dan kerja sama secara internasional.
Sikap mayoritas
Menurut Budhy Munawar Rachman, dosen Universitas Paramadina dan pengurus Nurcholish Madjid Society, ada pergeseran intoleransi di tataran masyarakat. Jika tahun-tahun sebelumnya wacana dan pandangan intoleransi ada pada tataran mistik, artinya pada konsep ketuhanan (teologi) dan di antara para cendikiawan saja, saat ini sudah merambah pada praktik hidup sehari-hari.
Masalahnya, jika peristiwa di Yogyakarta dianggap hanya sebatas permasalahan kecil antara tradisi lingkungan setempat dan pandangan orang luar, peristiwa tersebut akan dianggap benar.
Uniknya, dalam kasus ini pihak mayoritas cenderung tidak banyak berbicara, apalagi bertindak. Budhy meyakini peristiwa tersebut merupakan bentuk praktik intoleransi dalam hidup bermasyarakat. Menurut dia, secara umum Indonesia memang sudah cukup baik dalam memelihara kerukunan antarumat beragama. Memang, ada daerah-daerah tertentu ataupun kejadian kasuistis yang kerap mengganggu proses tumbuhnya semangat toleran antarwarga.
Pembenaran akan suatu tindakan intoleran dikhawatirkan akan menjadi rujukan atau acuan bagi tindakan serupa di tempat lain. Jika kesalahan logika ini dibiarkan, tidak mustahil akan terjadi normalisasi intoleransi. Artinya, tindakan intoleransi atas nama kesepakatan bersama atau tradisi setempat, menjadi hal yang wajar apabila diberlakukan.
Oleh sebab itu, diperlukan campur tangan pemerintah dan keterlibatan aktif masyarakat dalam menjaga nilai luhur toleransi mengingat kondisi kultural masyarakat yang kian majemuk. (YOHANES MEGA HENDARTO/LITBANG KOMPAS)