Kala itu depresi ekonomi berdampak depresi mental. Nilai rupiah hancur, dolar Amerika Serikat yang dipatok Rp 2.500 menjadi Rp 2.700, lantas mengamuk tak terkendali hingga menembus level Rp 16.000. Rezim Orde Baru yang lebih dari tiga dekade sangat perkasa pun limbung. Aksi moral mahasiswa dan berpalingnya pilar-pilar politiknya yang selama 32 tahun taat setia, pada akhirnya merontokkan sendi-sendi kekuasaannya, kecuali Partai Golkar yang lolos dari tumbukan sejarah.
Dunia bisnis ambrol. Banyak perusahaan gulung tikar. Kelas menengah, yang jarang bersentuhan dengan kelas bawah kecuali dalam interaksi terbatas, kehilangan kemapanan. ”Tembok Berlin” yang memisahkan dua kelas sosial runtuh secara vulgar. Kaum profesional yang menganggur punya banyak waktu buat ”bertatap muka” dengan loper koran, petugas satpam, dan pengangkut sampah di lingkungan rumah. Terjadi kejengahan artikulasi antarkelas yang beda wawasan dan intelek dalam realitas interaksi tak terduga, namun itu menjadi pelajaran bagi saling pengertian.
Usahawan yang bisnisnya berantakan dan para manajer yang kehilangan pekerjaan tidak hanya tak tahan lapar, tetapi juga tak betah duduk menunggu durian jatuh dari pohon. Di internet yang masih terbatas pengaksesnya kala itu dikisahkan tentang seorang konglomerat yang melarat akibat krisis moneter global tanpa sungkan berjualan burger dengan gerobak di kota Bangkok.
Bersamaan dengan cerita-cerita semacam itu, ruang publik di Jakarta Selatan tiba-tiba diokupasi tenda-tenda janggal. Tenda-tenda putih anggun, yang biasa dipakai untuk pesta tapi berukuran lebih kecil. Lampu-lampunya ditata artistik.
Itulah warungnya kaum kerah putih yang diempaskan badai moneter, yang hobi dan piawai dalam seni gastronomi, termasuk mantan chef restoran yang bangkrut. Mereka menyediakan cappuccino sampai sirloin steak. Menu hotel
bintang lima turun ke tepi jalan di daerah elite Ibu Kota. Istilah Kafe Tenda bermula dari sini, sampai muncul Kafe Tenda Semanggi, tempat jajan anak muda metropolitan di ujung 1990-an.
Siapa sangka, frase kafe tenda disambut layaknya anugerah oleh para pemilik warung kopi di gang-gang sempit, pinggiran rel kereta, hingga perumahan tandus di kota-kota satelit Jakarta. Kafe tenda laksana emansipasi bagi warung makan dan kedai jajanan kaum kerah biru guna memoles gengsi keberadaan mereka jadi ”bukan sekadar warung”. Warung kopi dan warung mi rebus enyah!
Memanfaatkan teras sempit rumah dengan dinding kayu dan atap asbes, warung di Tangerang itu memiliki nama keren: Kafe Remaja. Jualannya tak jauh-jauh dari kopi susu, mi rebus, dan bakso. Pemiliknya seorang anak muda. Konsumennya teman-teman nongkrong-nya, juga para tetangga.
Sebutan kafe bagi warung nonpermanen di ruang terbuka tidak berumur panjang. Orang kurang antusias. Warungnya para mantan manajer dan chef profesional sepi pengunjung. Padahal, kelas sosial yang jadi target pasar mereka tak tersentuh krisis. Bagi kelas itu, pesta kuliner nyaris tiada jeda. Boleh jadi mereka jengah dengan aksen tendanya yang apik tetapi terasa genit. Tenda-tenda molek di lekuk-lekuk Jakarta Selatan yang artistik seksi dalam temaram malam lenyap satu demi satu. Yang tinggal hanya cerita, le petite histoire dari tahun penuh darah yang ditangisi para ibu.
Selepas badai, frase warung kopi dan warung mi rebus eksis lagi. Tak tergantikan hingga kini!