Hari-hari atau minggu-minggu ini hampir semua percakapan di media sosial, grup Whatsapp, siaran televisi, media online, media massa, tak lepas dari pemilihan presiden. Debat pertama pasangan calon presiden-calon wakil presiden, Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, di Hotel Bidakara, 17 Januari 2019, menarik penonton. Itu terbukti dengan share dan rating televisi yang menyiarkan debat terbilang tinggi. Nonton bareng digelar di sejumlah tempat. Sejak pukul 15.00, tim sukses pasangan calon sudah memenuhi kawasan Bidakara.
Debat capres diharapkan menganalisasi kampanye ”ugal-ugalan” yang berlangsung selama ini. Kampanye ugal-ugalan mewujud dengan permainan hoaks dan emosi. Meski belum sempurna mengelaborasi gagasan capres, debat capres akan memoderasi kampanye hitam. Debat akan membawa politik lebih rasional. Publik kian mengerti yang mau dilakukan capres di bidang tertentu. Misalnya, Prabowo yang akan menempatkan presiden sebagai chief law enforcement officer untuk mengatasi problem hukum di Tanah Air.
Gagasan Prabowo soal chief law enforcement officer menawarkan kebaruan. Namun, gagasan itu butuh elaborasi lebih jauh agar tidak disalah mengerti. Di mana posisi presiden sebagai chief law enforcement officer dalam cabang kekuasaan eksekutif dan yudikatif? Apa komplikasi ketatanegaraan dan kemasyarakatan jika presiden juga sebagai chief of law enforcement? Itulah yang harus jadi perdebatan. Termasuk juga isu lain, seperti kenaikan pajak dan peningkatan gaji penegak hukum.
Sejauh mana debat memengaruhi perilaku memilih memang harus dikaji lebih dalam. Hasil survei Litbang Kompas, ada 14,7 persen pemilih yang belum menentukan pilihan. Dan 30 persen pemilih yang masih bisa mengubah pilihannya. Wakil Presiden Jusuf Kalla menyebut debat bisa memengaruhi elektabilitas 5-6 persen. Jika mengacu pada pemilihan presiden AS, debat tak banyak mengubah pilihan capres. Data menunjukkan 85-90 persen pemilih tetap bertahan pada pilihan.
Dalam pekan-pekan ini, bangsa Indonesia memasuki era mabuk pilpres. Semuanya dikaitkan dengan politik pilpres. Mau berfoto gaya bebas, mau menunjuk satu jari atau dua jari atau lima jari, khawatir dikaitkan dengan pilihan politik. Sebuah potongan video capres berpapasan dengan seorang asing yang viral dibahas dan ditafsirkan ke mana-mana. Ini sosok A, ini sosok B. Tidak ada yang pernah mencari tahu, siapa sebenarnya sosok itu.
Di dunia maya, bangsa ini seperti terbelah pada kubu cebong dan kubu kampret. Bahkan, ”permusuhan” dan ”pertikaian” antarkawan terjadi karena beda pilihan politik. Left group, unfriend, unfollow menjadi gejala biasa di perkawanan media sosial. Polarisasi itu hanya terjadi pada pemilihan presiden yang akan berlangsung 17 April 2019.
Seorang caleg dari daerah pemilihan Jawa Tengah dan menjadi tim sukses seorang capres berkata kepada saya di suatu malam, ”Pilpres itu hanya ada di Jakarta dan di siaran televisi yang juga terfokus di pilpres. Di daerah yang ada hanya pileg.” ”Tidak ada itu pilpres di daerah,” ujar caleg lain dari parpol berbeda menambahkan kepada saya.
Para caleg pun mengaku kesulitan berkampanye. ”Tak mungkin saya mengampanyekan memilih Jokowi di Sumatera Barat, saya pasti juga akan kalah,” ujar caleg dari koalisi pendukung Jokowi-Ma’ruf. Sumatera Barat adalah provinsi yang dimenangi Prabowo pada Pemilu 2014. Hal sebaliknya terjadi di Sulawesi Utara. ”Susah saya menawarkan Pak Prabowo di sana,” ujar caleg lain yang berada di koalisi Prabowo-Sandiaga.
Percakapan dengan beberapa caleg yang jadi tim sukses capres itu menyampaikan ”kesimpulan” sementara: para caleg ini cari kursi sendiri-sendiri. Namun, itu pun bergantung pada parpol mereka.
Parpol ingin cari selamat lolos ambang batas parlemen 4 persen! Parpol yang gagal memenuhi ambang batas itu akan gagal menempatkan wakilnya di Senayan. Kegagalan ke Senayan, meski bukan kiamat bagi partai, akan menentukan kewibawaan parpol. Di daerah, pertarungan keras justru terjadi di antara caleg, caleg antarparpol maupun caleg dalam parpol yang sama.
Sistem pemilu serentak yang dirancang untuk memperkuat sistem presidensial memang merepotkan para caleg dan parpol. Pimpinan parpol cemas oleh coattail effect (efek ekor jas). Efek ekor jas mencoba menggambarkan relasi positif antara kekuatan elektoral capres dan partai yang mengusungnya. Seorang capres dengan elektabilitas yang tinggi akan berdampak pada partai pengusungnya.
Efek ekor jas sebenarnya belum teruji di Indonesia. Efek ekor jas dibangun berdasarkan pengalaman pemilu presiden di AS. Namun, jika merujuk sejumlah survei, mulai tampak PDI-P dan Gerindra yang paling banyak mendapat keuntungan elektoral dari Jokowi dan Prabowo. Jokowi kuat diasosiasikan dengan PDI-P. Begitu juga dengan Prabowo-Sandiaga yang sangat kuat identik dengan Gerindra.
Ketakutan terhadap efek ekor jas ini membuat parpol harus memikirkan keselamatan dirinya. Parpol yang tidak terasosiasi dengan capres akan berupaya menyelamatkan kendaraan politiknya sendiri.
Meski pemilu serentak—memilih presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota—kenyataannya kampanye terfokus hanya pada pilpres. Posisi presiden memang penting dalam pemerintahan demokratis sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara.
Posisi presiden penting karena kebijakan-kebijakan presiden akan menentukan hajat hidup orang banyak. Pilihan kebijakan soal pembangunan infrastruktur yang diambil Presiden Jokowi, misalnya, akan berdampak pada masyarakat banyak. Kebijakan perpajakan untuk menaikkan gaji penegak hukum, misalnya, juga berdampak pada masyarakat.
Namun, ketika presiden telah terpilih, rakyat diwakili oleh wakil-wakil mereka di DPR, DPD, maupun DPRD. Lembaga perwakilan rakyat inilah yang akan membela dan mengartikulasikan kepentingan rakyat saat pemerintahan sudah berjalan. Pertanyaannya kemudian, ketika pemilu terlalu difokuskan pada pilpres, apakah sudah cukup referensi bagi rakyat memilih wakil-wakilnya? Sudahkah para calon wakil rakyat dikenal di daerah pemilihannya?
Pemilu legislatif sama pentingnya dengan pemilu presiden. Pemilu legislatif akan menentukan siapa yang akan mengontrol parlemen. Parlemen yang kuat jadi harapan agar checks and balances antarcabang kekuasaan bisa berjalan. Parlemen berperan membuat undang-undang bersama pemerintah, menyusun anggaran bersama pemerintah, dan mengawasi pemerintahan. Jadi, selain pemilu presiden, pemilu legislatif juga harus mendapat perhatian yang sama.