Menukik ke Kedalaman Yoga
Yudhi Widdyantoro mengajar yoga untuk memupuk kebaikan. Yoga adalah hidupnya, komitmen hidup, semacam misi hidup. Dia dikenal luas, tetapi tidak menjadikan yoga sekadar sebagai mata pencarian, tetapi jauh melampaui itu.
Dia adalah sosok yang menukik pada kedalaman dan menjadikan yoga sebagai jalan hidup yang beresonansi pada kegiatan kemanusiaan.
Dengan kemampuan yang dimiliki, Yudhi, antara lain, berjuang terlibat dalam gerakan bersemangat pluralisme. Dia berkolaborasi dengan sejumlah pihak dan berbagai cara untuk memasukkan gagasan pluralisme melalui yoga.
Belum lama ini dia berkolaborasi dengan penari untuk Borobudur Writers and Cultural Festival, juga dengan Romo Sudri SJ untuk latihan meditasi tanpa obyek.
Resonansi dari nilai kebaikan yoga menuntunnya terlibat cukup dalam dengan gerakan kemanusiaan. Di berbagai peristiwa bencana, Yudhi berangkat untuk membantu korban dan melakukan yang dia bisa dengan biaya sendiri, seperti ketika berangkat menyambangi korban gempa Lombok atau longsor Banjarnegara untuk mengajar yoga bagi pemulihan korban bencana.
Merintis yoga gembira di Taman Suropati, Jakarta, gerakan ini telah menginspirasi tumbuhnya gerakan serupa di 22 tempat di Jabodetabek. Rasa welas asih mengantarnya mengajar yoga tanpa bayaran di beberapa lembaga pemasyarakatan, seperti penjara khusus anak di Salemba, Jakarta.
Yoga pun dibagikan untuk pemulihan orang dengan HIV/AIDS di Yayasan Pelita Ilmu atau anak-anak sakit dari keluarga tak mampu di Rumah Harapan, di samping mengajar di kampus-kampus.
Yoga, yang disebut ”seni hidup dari timur”, bagi Yudhi bukan sekadar olah tubuh. Para ”pemuja” tubuh menjadi narsistik untuk meyakinkan bahwa dirinya ”cantik” menurut pandangan umum. Mereka ini adalah target pasar dari industri yoga.
Banyak guru yoga yang mereduksi yoga sebatas ”ritus perayaan tubuh”. Banyak dari mereka mengembangkan psikologi ketakutan kalau pose yoga salah atau keliru. Situasi ini tak jarang menciptakan konflik di dalam diri mereka yang belajar yoga karena tubuh mempunyai logikanya sendiri menurut hukum alam.
Jalan spiritualitas
Bagaimana Anda melihat praktik yoga yang seolah hanya menjadi ritus perayaan tubuh dan hanya peduli pada fisik semata? Seperti apa idealnya berlatih yoga?
Dengan adanya media sosial, istilahnya melakukan pose yang instagramable: lebih lentur, lebih meliuk, lebih kuat. Imaji yang tertangkap terkesan yoga hanya tentang tubuh. Postur harus perfect menurut sebagian yoga socmed. Padahal, asana atau postur itu hanya sebagian dari keluasan yoga.
Ada referensi di yoga yang dikenal sebagai astanga atau delapan tingkatan dalam yoga. Dimulai dari yama atau ajaran moral yang universal. Asana atau postur hanya seperdelapan dari tingkatan yoga. Bukannya menyalahkan, tetapi idealnya yoga lebih jauh dari itu.
Ketika yoga, pastinya ada rasa, ada sensasi, ada cengkrang-cengkring. Bagaimana pikiran menanggapi sensasi itu. Supaya bisa hadir utuh 100 persen di situ. Dikenal dengan aware atau kesadaran. Didapatkanlah keheningan batin. Di situ enggak ada lagi rasa aku yang sedang beryoga. Enggak ada lagi dualitas.
Kalau masuk ke keheningan seperti ruang hampa. Bukan hampa. Tapi hampa yang penuh. Adanya resonansi perlu digaungkan agar rasanya bisa dimanfaatkan orang yang bukan hanya beryoga.
Pada titik hening batin, ketika ego runtuh, yang ada tindakan direct action. Rasa keberlimpahan yang resonansinya dengan tindakan cinta kasih. Dari keheningan bisa melihat lebih jernih.
Apa bahayanya ketika tubuh jadi perhatian utama?
Sisi batin kurang tergarap. Pikiran selalu keluar untuk dapat postur yang perfect. Masalah rasa sensasi feeling kurang diperhatikan. Ditambah lagi industri kebugaran dan kecantikan selalu menarasikan bahwa yoga selain sehat akan menambah mantra cantik dari dalam. Jadi concern melulu tubuh, padahal tubuh punya logikanya sendiri.
Ada hukum alam. Ingin selalu sehat. Padahal, sakit jadi pelajaran spiritual. Belajar sadar. Enggak ada yang konstan. Harus proaging instead of antiaging.
Menerima itu. Sehat itu bonus. Kita yakin organ bekerja sebagaimana mestinya sehingga sehat. Tetapi, kalau terpaku di situ, kita perlu memandang segala sesuatu apa adanya. Perlu melihat ke dalam. Diri bukan hanya tubuh, tapi batin, rasa.
Bagaimana Anda melihat yoga yang sudah menjadi industri dan diperlakukan secara eksklusif, mahal, sementara Anda menyosialisasikan yoga untuk semua orang?
Yoga makin marak di Jakarta ketika krisis ekonomi terjadi tahun 1998. Karena berdampak terasa sekali, terutama kalangan menengah atas, ke masalah psikis.
Pengobatan modern enggak bisa mengatasi masalah psikis. Mulai melihat yoga sebagai alternatif. Awal mula yoga booming di Amerika Serikat, Oprah mengundang Madonna dan guru yoganya yang kemudian jadi ikon yoga di Amerika. Sangat masif perkembangan yoga di sana.
Di negara Barat, harus diakui dalam membuat sistematika mengemas dan memasarkannya memang unggul. Jadi bisnis gaya hidup. Industri kebugaran ini diikuti dengan industri lain. Majalah khusus yoga.
Dipromosikan pakaian, matras. Harga matras saja ada yang Rp 2,7 juta. Perniknya makin banyak, esensi yoga sebagai pembebasan mengatasi delusi dan mencintai pencerahan agak tersisih. Dalamnya kurang diperhatikan, melulu tubuh.
Pikiran dan jiwa
Praktik yoga adalah penyatuan antara mind, body, and soul. Yoga mengajarkan bahwa keberadaan diri ini bergerak antara sesuatu yang sudah pakem sesuai ketentuan baku, bisa didiktekan pada tubuh, sementara di sisi satu lainnya adalah kebebasan dan kreativitas yang bebas, yaitu mind (pikiran) dan soul (jiwa).
Jika semua unsur ini disatukan, kita berada pada kondisi meditatif dan ini sangat penting untuk kesehatan. Kita paham, hampir semua penyakit berasal dari pikiran. Kita juga menjadi paham tentang kerja alam semesta di dalam tubuh dan bagaimana kesembuhan secara alamiah berlangsung, sekaligus menemukan jalan menuju kepada Yang Satu.
Secara pribadi, Yudhi mereguk banyak manfaat dari yoga setelah terbebas dari penyakit fisik seperti lever, migrain, dan insomnia. Problem psikis seperti ambisi, emosi, dan temperamen yang buruk pun relatif reda.
Yudhi dibesarkan dalam keluarga Jawa dengan tradisi Jawa yang kental. Jadi, ajaran kejawen sudah menjadi dialog keseharian dari kecil. Yang mistis—bukan dalam arti klenik—dikenalkan oleh orangtuanya.
Dari paparan spiritualitas Jawa, ia berkenalan dengan sufistik Islam. Bersamaan dengan pencarian jalan spiritual, Yudhi berkenalan pula dengan tradisi spiritualitas seperti persaudaraan Susila Budhi Dharma (SUBUD) dan aktif meditasi di Mendut.
Ia belajar yoga hingga ke Pune, India. Yoga kemudian dimaknai sebagai praktik spiritual yang bergerak. Meskipun dalam keriuhan, keheningan bisa diraih. Yoga selanjutnya menjadi jalan hidupnya.
Mengapa aktif di kegiatan merawat keberagaman?
Di dalam tubuh kita ada triliunan sel yang unik sifatnya, yang mengajarkan keterhubungan saling melengkapi. Sel tubuh mengajarkan perlu menghargai keberagaman.
Tubuh diajari menghormati keberagaman dan memperbanyak perjumpaan dengan yang liyan. Tiap sel enggak sama. Kalau lihat lebih luas, di semesta juga kayak gini.
Orang Jawa bilang jagat kecil dan jagat besar. Mengenal diri sendiri. Tujuan tertinggi yoga adalah liberation. Bebas dari rasa takut, dogma, doktrin. Bebas dari ikatan keduniawian. Ada sesuatu yang lebih besar dari kita. Mengajar kita rendah hati. Jangan bisa handstand saja lalu merasa hebat.
Dari belajar dari tubuh perlu ditarik keluar bahwa ada kesejajaran, kesamaan. Kita perlu melampaui pagar tabu, label-label sekat. Sekat agama, bangsa. Saya mengartikan perjalanan delapan tangga yoga sebagai perjalanan spiritual seperti naik gunung. Di ketinggian bawah, batas pandang terbatas. Masih ada sekat.
Meningkat lebih tinggi sampai ke puncak gunung. Di puncak gunung biasanya botak (tidak ada vegetasi atau pohon—Red) sudah melampaui sekat. Jangan hanya di postur tubuh. Melampaui dogma guru-guru.
Bagaimana menghubungkan yoga dengan keindonesiaan kita?
Nama postur yoga diambil dari binatang. Saya mengartikan mind kita dilatih untuk menghormati makhluk yang lain. Sama kedudukannya. Kenapa saya aktif mengembangkan yoga ke taman? Seperti ziarah membayar utang kepada alam yang sudah memberi inspirasi sehat dengan mendatangi, menziarahi.
Selain juga di taman, ada pohon besar, pohon kecil, semua hidup dan bersinergi. Di masyarakat, kita sibuk membangun tembok perbedaan. Perlu membangun banyak jembatan penghubung.
Yudhi Widdyantoro
Lahir: 31 Oktober 1963
Pendidikan:
- Filsafat UI (tidak selesai)
- Filsafat STF Driyarkara (tidak selesai)
- IAF (International Academy for Leadership), Jerman
Pendidikan Yoga:
- 1991: Jawaharlal Nehru Indian Cultural Centre (JNICC), Jakarta
- 2001: Yoga Arts Bali
- 2004: Ramamani Iyengar Memorial Yoga Institute (RIMYI)
- 2008: Training Center Yin Yoga, Singapura
Meditasi:
- 1998: Vipassana di Mendut Buddhist Monastery
- 2001: Bali Usada Meditation
- 2007: Meditasi Mengenal Diri Dr Hudoyo Hupudio MPH
- 2016: Meditasi Tanpa Obyek (MTO)
Pengalaman:
- 2009: Mendirikan Komunitas Yoga Gembira (Yoga di Taman Suropati)
- 2014: Co-Founder Indonesia Yoga School
- 2016: Co-Founder Organik Yoga
- 2018: Co-Founder Yoga Nusantara
- 2018: Co-Founder Perhimpunan Relawan Nusantara
- Pernah mengajar di Rumah Yoga, saat ini mengajar yoga di Jakarta Intercultural School
Istri: Lucy Ambarini Irawan (47)
Anak: Karim Alexandra (6)