JAKARTA, KOMPAS – Di tengah menguatnya pengaruh politik identitas, radikalisme, terorisme, dan gencarnya berita bohong, yang mengancam bangsa, generasi milenial tetap optimistis terhadap masa depan Indonesia. Mereka menilai kehidupan di Indonesia akan tetap berjalan dengan baik. Keberagaman menjadi modal untuk membangun bangsa Indonesia.
Indonesia Millennial Report 2019 menyebutkan semangat keberagaman tertanam dalam jiwa kaum milenial, penduduk dengan rentang usia 20-35 tahun. Sebanyak 89,1 persen milenial optimistis terhadap hidup dalam keberagaman di Indonesia.
Laporan yang disampaikan dalam Indonesia Millennial Summit 2019, Sabtu (19/1/2019), di Jakarta, itu juga menunjukkan bahwa 86,7 persen milenial optimistis terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Optimisme kaum milenial juga ditunjukkan pada sistem demokrasi Indonesia (83,6 persen) dan kondisi keamanan di Indoneisa (83,4 persen).
Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla yang turut hadir dalam Indonesia Millennial Summit 2019, pun mengapresiasi semangat keberagaman yang tumbuh di diri generasi milenial di Indonesia. Rasa hormat terhadap keberagaman di masyarakat dapat menjadi bekal untuk menghadapi masa depan secara lebih positif.
“Beberapa rumusan menganggap milenial hanya mementingkan diri sendiri atau egois. Tetapi ternyata di sini, khususnya di Indonesia, penghormatan dan penghargaan (kaum milenial) terhadap keberagaman tinggi,” terangnya saat membuka acara Indonesia Millennial Summit 2019.
Indonesia Millennial Report 2019 adalah survei yang dilakukan secara independen oleh IDN Research Institute bersama Alvara Research Center. Riset yang melibatkan lebih dari 1400 responden di 12 kota ini bertujuan untuk menelisik lebih dalam perilaku dan kebiasaan milenial di Indonesia dari berbabagi aspek kehidupan. Aspek yang dibahas mulai dari pandangan politik dan pemerintahan, ekonomi dan bisnis, perilaku keagamaan, perilaku berjejaring, hingga pandangan terhadap masa depan Indonesia.
CEO Idn Media Winston Utomo mengatakan, generasi milenial harus turut berkonstribusi memajukan Indonesia. Tanggung jawab untuk mewujudkan Indonesia lebih baik ada di tangan generasi muda. Apalagi, bonus demografi Indonesia dengan usia produktif sudah dimulai tahun ini sampai 2035 nanti. “Mari kita bangkitkan optimisme dan bersama bahu-membahu membangun Indonesia ke depan,” katanya.
Dalam kesempatan yang sama Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko juga mengajak generasi milenal untuk menyambut masa depan Indonesia dengan optimistik. Berbagai keberhasilan telah diupayakan pemerintah untuk mewujudkan stabilitas ekonomi, keamanan, dan politik di Indonesia. “Jadi (generasi milenial) jangan ragu-ragu dan jangan takut. Saya jamin tidak akan terjadi apa-apa (di Indonesia). Tatap masa depan secara optimistis,” ucapnya.
Hoaks
Moeldoko menambahkan, masalah utama yang saat ini harus dilawan oleh generasi milenial adalah isu hoaks atau berita bohong. Menurutnya, hoaks bukan saja persoalan pemerintah melainkan persoalan bangsa. Ia meminta generasi milenal lebih berkontribusi secara serius melawan hoaks.
Hal serupa juga diungkapkan oleh jurnalis Najwa Shibab. Ia mengatakan, generasi milenial dan juga generasi Z perlu memperkaya pengetahuan dengan membaca berbagai macam buku agar terhindar dari hoaks. Penyebaran informasi yang cepat dan masif tidak bisa dihindari saat ini, terutama di tahun politik.
"Kecepatan bukan lagi hal yang luar biasa. Anak mudanya, kitanya yang kritis memilah, mana yang penting, mana yang janji, mana yang retorika, mana yang punya rekam jejak untuk melaksanakan janji," ujar Najwa.
Menurut Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, faktor eksternal merupakan penyebab generasi milenal lebih sensitif ketika agamanya disinggung di media sosial. Kendati begitu, ia menilai sejatinya bangsa Indonesia memiliki sifat yang santun dan menghargai perbedaan. Untuk itu, optimisme pada aspek keberagaman yang tumbuh di generasi milenial, itu tidak akan berbenturan dengan nilai-nilai agama.
“Kalau ditanya apakah ada masalah antara nasionalisme dengan agama, saya kira masalah pasti ada, karena hidup pasti ada masalah. Namun, saya melihat rasa kebangsaan didasari atas pemahaman keagamaan, bahwa umat beragama harus cinta Tanah Air,” katanya.