Konflik Suriah memberi pelajaran bagi Indonesia agar warga negeri ini tak bermain-main dengan hoaks. Penyebaran hoaks telah memantik konflik di Suriah yang sulit diselesaikan.
JAKARTA, KOMPAS Awal konflik di Suriah, yang memorak-porandakan negeri itu melalui perang berkepanjangan selama lebih dari tujuh tahun, tidak bisa dilepaskan dari masifnya berita bohong atau hoaks yang beredar melalui media sosial dan media arus utama. Indonesia harus belajar dari kasus konflik di Suriah.
Untuk merekatkan ikatan kebangsaan dan menangkal berita bohong yang berpotensi memecah belah bangsa, keberadaan organisasi kemasyarakatan memegang peran penting.
Demikian, antara lain, pokok pikiran dalam diskusi dan bedah buku bertema ”Prahara Suriah: Hoaks, Media Sosial, dan Perpecahan Bangsa” di Aula PP Muhammadiyah, Jakarta, Jumat (18/1/2019). Diskusi menampilkan pembicara Wakil Kepala Badan Intelijen Keamanan Polri Irjen Suntana; Ketua PP Muhammadiyah Hajriyanto Y Thohari; Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika Prof Henry Subiakto; pengamat Timur Tengah, Trias Kuncahyono; dan Sekretaris Jenderal Alumni Suriah Najih Arromadhoni.
Menurut Suntana, gejala perpecahan seperti di Suriah sudah muncul di Indonesia. Berita hoaks dengan motif persaingan usaha, sentimen pribadi, dan politik sudah banyak muncul sejak 2012. ”Kemajuan teknologi bisa dimanfaatkan pihak tertentu untuk mengacaukan kondisi, terlebih Indonesia adalah negara Muslim terbesar di dunia,” ujarnya.
Meski demikian, Indonesia berbeda dari Suriah. Meski tidak mudah mengelola kebinekaan, Indonesia dengan ideologi Pancasila sampai saat ini mampu mengelola perbedaan dan menjaga Negara Kesatuan RI dengan baik. Salah satu pembeda lain adalah keberadaan organisasi massa (ormas) keagamaan yang kuat di Indonesia, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Di Suriah, tidak ada ormas keagamaan yang kuat yang bisa menetralisasi gejolak sosial.
Meskipun demikian, Henry mengingatkan untuk tetap mewaspadai berita bohong. Berita bohong, menurut dia, telah menjadi bagian dari permainan politik dan senjata dalam konflik atau perang. Hoaks dibuat dan disebarkan untuk mengeksploitasi keyakinan dan fanatisme identitas dengan menyebarkan ketakutan, kecemasan, dan kebencian agar publik tidak berpikir logis.
Henry mencontohkan kasus terpilihnya Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang diwarnai penyebaran hoaks untuk memicu ketakutan warga AS terhadap imigran. Hal itu ditiru di Brasil ketika Presiden Jair Bolsonaro terpilih. Metode serupa digunakan saat Rusia menganeksasi Krimea.
Cerita dari Damaskus
Najih Arromadhoni bercerita, dalam konflik di Suriah, berita bohong tidak hanya menyebar melalui media sosial, tetapi juga melalui media arus utama internasional. Isu besar yang sering diembuskan adalah pertentangan Sunni-Syiah.
Padahal, Suriah yang mayoritas dihuni kaum Sunni tidak memiliki sejarah konflik Sunni-Syiah. Najih menuturkan, suatu waktu salah satu televisi memberitakan ada baku tembak di wilayah tempat tinggalnya. Padahal, tidak ada peristiwa apa pun saat itu.
Pernah juga, lanjut Najih, ada berita demonstrasi di Universitas Damaskus yang diikuti ratusan orang dan jatuh korban seorang meninggal akibat ditembak aparat keamanan. Padahal, demonstrasi saat itu hanya diikuti 30 orang dan demonstran yang diberitakan meninggal itu masih hidup.
Menurut Trias Kuncahyono, penulis buku Musim Semi Suriah, yang dibahas dalam diskusi itu, banyak hal melatarbelakangi konflik di Suriah, mulai dari kondisi sosial ekonomi yang buruk, kegagapan aparat menghadapi gejolak, hingga bermainnya kepentingan internasional yang saling bertarung.
Akibat terlalu banyak kepentingan negara bermain di sana, seperti AS, Rusia, Arab Saudi, Iran, dan Turki, konflik berlangsung panjang dan sulit menemukan penyelesaian damai. ”Suriah menjadi pelajaran berharga bahwa di negara yang selama ini bisa menjaga kerukunan beragama pun bisa diacak-acak,” ujar Trias. (ADH)