Tunggu Harga Tinggi, Petani Garam Jateng Tunda Jual
Oleh
WINARTO HERUSANSONO
·3 menit baca
JEPARA, KOMPAS — Para petani garam di pesisir Kabupaten Demak dan Jepara, Jawa Tengah, menunda menjual sebagian hasil panen dan memilih menyimpannya di gudang. Stok yang disimpan berkisar 500-1.500 ton per orang. Mereka menunggu harga garam di pasaran naik agar mendapatkan keuntungan lebih.
Petani garam di Wedung, Kabupaten Demak, Hamzawi Anwar, Jumat (18/1/2019), mengatakan, harga garam rakyat saat ini berkisar Rp 950 per kilogram (kg)-Rp 1.350 per kg. Petani menghendaki garamnya bisa dijual di pasaran Rp 1.800 per kg-Rp 2.500 per kg.
”Hasil garam pada 2018 sebenarnya lumayan. Banyak petani bisa menyimpan garam di gudang, terutama yang tidak terjerat utang kepada tengkulak,” kata Hamzawi. Saat ini, harga garam kualitas satu di tingkat petani Rp 1.350 per kg, kualitas dua sekitar Rp 1.100 per kg, dan kualitas tiga Rp 950 per kg.
Para petani di Desa Wedung, Kedungmutih, dan Babalan biasanya menyimpan stok garam di gudang penyimpanan antara 500 ton dan 1.500 ton. Garam itu ditahan untuk tidak dijual sejak akhir 2018.
Menurut Hamzawi, usaha pengolahan garam sudah selesai. Petani belum mengolah garam lagi karena saat ini sudah memasuki puncak musim hujan. Mereka kemungkinan kembali memulai budidaya garam pada Juni saat memasuki kemarau.
Ketua Umum Asosiasi Petani Garam Rakyat Jawa Indonesia (Asniraya) Tosin Faisal mengatakan, penyimpanan hasil panen tidak hanya dilakukan petani di Demak, tetapi juga di Jepara dan Rembang. Dia juga salut dengan para petani garam yang kini mampu menyimpan sebagian hasil panen. Pada musim hujan, biasanya harga garam terus naik, terlebih petani yang menggarap lahan tidak banyak.
”Petani sudah banyak menggunakan teknologi geomembran atau geoisolator. Hasil garamnya lebih bersih dan berkualitas. Dengan geomembran, panen yang biasanya 60 ton per hektar bisa naik menjadi lebih dari 100 ton per hektar,” ujar Tosin.
Dengan musim hujan yang berlangsung hingga Maret, hampir semua tambak pengolahan garam petani di Demak, Jepara, Pati, hingga Rembang menganggur. Menurut Tosin, setiap daerah penghasil garam masih menyimpan stok sebanyak 10.000 ton-15.000 ton.
Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Demak Hari Adi Soesilo menjelaskan, hasil produksi garam rakyat Demak pada 2018 merupakan terbesar kedua di Jateng setelah Pati. Produksi garam Demak mencapai 172.446 ton, dari areal lahan seluas 1.271 hektar. Adapun produksi garam di Pati sekitar 320.000 ton.
Petani sudah banyak menggunakan teknologi geomembran atau geoisolator. Hasil garamnya lebih bersih dan berkualitas. Dengan geomembran, panen yang biasanya 60 ton per hektar bisa naik menjadi lebih dari 100 ton per hektar.
Antusias
Dengan keberhasilan panen 2018, lanjut Hari, pihaknya memperkirakan petani garam akan antusias memulai produksi lagi pada April hingga Oktober mendatang. Dengan luasan lahan 1.271 hektar yang digarap sekitar 1.348 petani, produktivitas garam di Demak pada 2019 ditargetkan sekitar 135 ton per hektar. Optimisme tersebut, menurut Hari, seiring semakin meluasnya pemanfaatan teknologi geomembran di kalangan petani.
Untuk menyimpan sebagian garam, pemerintah pusat memberikan bantuan pembangunan gudang penyimpanan garam berukuran 160 meter persegi yang saat ini sudah selesai dibangun. Bangunan gudang di Desa Babalan, Kecamatan Wedung, itu, menurut Hari, mampu menampung garam dengan kapasitas 2.000 ton.
Tosin menambahkan, petani mesti meningkatkan pengolahan garam rakyat, salah satunya agar pasar nasional tidak dikuasai garam impor. Menurut dia, Asniraya juga meminta pemerintah mengatur masuknya garam impor sesuai peta produksi garam rakyat untuk mencegah kerugian petani.
”Impor garam tentu tidak bisa ditolak, produksi petani masih rendah, hanya saja diatur agar petani tidak terdampak,” ujar Tosin.