Langit mendung Jakarta memayungi sekitar 200 orang yang menggelar aksi diam di salah satu pojok Monumen Nasional. Berbaju hitam, mereka berdiri berderet menghadap Istana Negara yang megah bercat putih, lima jam sebelum debat pilpres yang pertama, Kamis (17/1/2019).
Payung hitam yang bertuliskan ”Talangsari”, ”Marsinah”, ”Tragedi Trisakti”, ”Semanggi I–II”, dan ”Penculikan Aktivis 1998” menjadi tanda tuntutan mereka. Tidak ada kata. Semua hanya diam. Inilah aksi Kamisan. Aksi itu diadakan untuk menuntut pemerintah menyelesaikan kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM masa lalu. Pelanggaran-pelanggaran itu diduga dilakukan aparat negara yang secara melawan hukum mengurangi hingga mencabut HAM seseorang, yang sampai saat ini belum ada penyelesaian hukum yang adil.
Ada yang khusus dalam aksi Kamisan hari itu. Aksi yang dilakukan setiap minggu itu memasuki tahun yang ke-12 pada 18 Januari 2019. Awalnya, aksi-aksi itu diikuti korban dan keluarganya serta aktivis HAM di Indonesia. Awalnya tuntutan yang diajukan hanya pada penyelesaian kasus-kasus tersebut. Namun, aksi itu kini menjadi monumen peringatan bahwa kasus-kasus pelanggaran HAM masih akan mengintai masa depan bangsa.
Saat ini, jumlah keluarga korban dan aktivis HAM mungkin tinggal sedikit. Namun, gelombang anak-anak muda yang peduli HAM terus membesar. Aksi Kamisan yang berawal dari Jakarta itu kini juga kerap diadakan di 27 kota di Indonesia walau sampai hari ini kerap dibubarkan aparat.
Rizkiari (19), mahasiswa Trisakti, datang bersama teman- temannya setelah tahu ada aksi Kamisan dari tagar #12tahunKamisan di Twitter. Telah dua kali Rizki datang bersama Adi (19), tetangganya, yang juga merasa simpati dengan perjuangan itu.
Aldi (17), siswa SMA yang datang dengan kaus hitam bertuliskan ”Widji Thukul”, tahu aksi Kamisan dari Instagram kelompok musik Efek Rumah Kaca. Ia menyatakan ingin ikut memperjuangkan kasus tersebut. ”Di sini saya bersama orang-orang waras yang membela keluarga korban,” ujarnya.
Ada juga mahasiswi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Fatimah (20), yang datang bersama sepupunya. Ia sudah lama mendengar tentang aksi Kamisan, tetapi baru pertama kali datang sebagai bentuk dukungan. ”Ini soal HAM yang harus diperjuangkan karena ini soal nyawa,” katanya.
Anak-anak muda ini tekun mendengarkan saat Sumarsih mengatakan bahwa kekerasan yang dilakukan masyarakat, seperti aksi teroris, adalah replikasi dari kekerasan yang dilakukan negara. Rakyat tidak berdaya. Rakyat tidak bisa korupsi. Sementara tidak ada keadilan di pengadilan. Untuk memutus rantai kekerasan itulah, Sumarsih yang merupakan orangtua Wawan, korban peristiwa Semanggi I, meminta pemerintah untuk menggelar pengadilan HAM.
Minim visi HAM
Sumarsih tidak pesimistis walau telah 12 tahun aksi Kamisan tanpa hasil yang berarti. Sementara Sumarsih dan Paian Siahaan, ayah Ucok Munandar yang termasuk 13 korban yang diculik tahun 1998, masih terus menyampaikan harapannya, anak-anak muda punya pandangan lain.
Adi yang mendapat informasi tentang kasus-kasus pelanggaran HAM dari buku, Youtube, dan situs web mengatakan, deretan pemerintah yang pernah ada sejak Orde Baru tidak pernah berniat untuk menyelesaikan hal ini. ”Mereka takut dengan orang- orang yang terlibat dan memang ada di antara mereka juga,” kata Adi.
Adapun Fatimah melihat bahwa pemerintah tidak ingin orang-orangnya terganggu reputasinya. Anak-anak muda itu juga mencibir sinis adanya debat capres tentang HAM yang akan digelar beberapa jam kemudian.
”Ah, belum tentu juga dibahas,” kata Aldi.
Tak disangka, tebakan Aldi terwujud. Tak ada pembahasan yang menyentuh inti permasalahan HAM dalam debat antara Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Hal ini menjadi penegasan bahwa korban-korban HAM yang kerap menjadi korban perubahan rezim hanyalah kendaraan bagi pergantian elite berkuasa.
Choirul Anam, anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, menilai, kedua kandidat menghindari masalah yang menjadi realitas sosial saat ini. Hal-hal esensial, seperti peraturan-peraturan daerah yang diskriminatif, tidak disentuh sama sekali.
”Jangan malah ngomong Bhinneka Tunggal Ika, dong. Itu, kan, sudah ada sejak zaman Majapahit. Bagaimana mereka menjawab persoalan hari ini pada bangsa, itu tidak ada,” kata Anam.
Keengganan, baik Joko Widodo maupun Prabowo Subianto, mengutak-atik masalah HAM menunjukkan keduanya minim visi tentang HAM. Firman Noor, peneliti politik di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), melihat bahwa keduanya saling menahan agenda. Padahal, masyarakat setiap hari bertanya-tanya tentang kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan. Demikian juga dengan sengkarut peristiwa 1965 dan 1998. Seakan-akan para pasangan calon ini sibuk dengan wacana mengawang-awang di langit yang mendung.
Mereka tidak bersama dengan rakyat yang mengenakan kaus hitam bertuliskan puisi Wawan, anak Sumarsih, yang 13 November 1998 ditemukan tewas dengan peluru tajam: ”Tapi, perjuangan yang hampir selesai musnah. Reformasi kini hanya kedok para penguasa”.