Rantai sampah itu sepertinya sederhana saja. Sampah rumah tangga misalnya, tinggal ditaruh di bak atau tong sampah depan rumah. Petugas pemungut sampah akan keliling komplek untuk mengumpulkannya. Kemudian dia akan membuang ke tempat penampungan sampah sementara (TPS). Pengangkutan biasanya menggunakan gerobak sampah yang ditarik petugas.
Sekarang, gerobak-gerobak itu banyak yang berupa gerobak bermotor. Kerjanya lebih ringan dan cepat. Dari TPS, sampah dari berbagai tempat kemudian akan dibuang ke tempat pembuangan sampah akhir (TPA). Mestinya di TPA tidak sekadar ditumpuk dan dibiarkan menggunung. Berbagai teknologi pengelolaan sampah sudah tersedia, termasuk untuk pengolahan sampah menjadi energi listrik misalnya.
Kenyataannya, pengelolaan sampah tidaklah sesederhana rantai perjalanan sampah seperti di atas. Kerumitan terjadi sejak sampah rumah tangga ke luar dari dapur. Saat dibuang ke bak atau tempat sampah, serapi apa pun biasanya diacak-acak pemulung yang mencoba mencari sampah yang bisa dimanfaatkan atau didaur ulang. Mereka sudah menyebar sejak dini hari, untuk saling mendahului.
Bagusnya sampah sudah dipilah: sampah organik atau anorganik. Dengan demikian, pemulung tinggal mengambil sampah yang bisa dimanfaatkan tanpa mengacak-ngacak kantong sampah. Sementara sampah organik bisa dimanfaatkan dijadikan kompos untuk menjadi pupuk organik. Praktiknya, banyak warga merasa ribet seperti itu.
Pengurus RT/RW juga menghadapi masalah pengelolaan sampah di lingkungannya. Mereka biasanya memungut sejumlah uang iuran bulanan kebersihan dan keamanan. Iuran RT namanya. Namun jangan salah, mengumpulkan iuran bulanan yang relatif murah—ada yang di bawah Rp 100.000 per bulan—dari warga bukan hal mudah.
Rumah mewah dengan sejumlah mobil di garasinya, bukan jaminan pemiliknya lancar membayar iuran RT. “Orangnya kaya, tapi cap jahe,” ujar seorang petugas pemungut iuran warga di sebuah komplek.
Menaikkan iuran Rp 5.000-an saja per bulan, rapat RT bisa sampai larut malam membahasnya.
Di sejumlah komplek atau lingkungan perumahan, biasanya sudah ada sanksi bagi mereka yang tidak membayar iuran RT. Mereka yang menunggak iuran, sampahnya jangan diangkut! Masalah tidak lantas selesai, warga bukannya segera membayar iuran.
Banyak di antaranya malah membuang sampah sendiri ke tempat lain, asal bukan di sekitar rumahnya. Bungkusan-bungkusan sampah rumah tangga bisa dibawa pagi hari sambil berangkat kerja. Keresek berisi sampah itu, bisa dibuang di sepanjang jalan menuju tempat kerja.
Warga sekitar atau pemilik lahan yang sudah kehilangan akal, tidak jarang memasang spanduk larangan membuang sampah. Spanduk juga lazim berisi sumpah serapah bagi pembuang sampah seperti itu. “Yang buang sampah di sini, semoga cepat mati” atau “Buang sampah di sini, semoga rezeki dan usahanya seret”. Lainnya, berisi daftar isi kebun binatang.
Berhubung banyak komplek perumahan baru di berbagai tempat dan tidak memiliki sistem pembuangan sampah atau karena masalah kroniks enggak mau bayar iuran, sampah-sampah yang dibuang di jalanan itu semakin menjadi fenomena.
Cobalah sekali-kali jalan atau lari pagi di sekitar perumahan-perumahan, sampah-sampah seperti itu berserakan menebarkan kejorokan di mana-mana. Bahkan, di sekitar Tangerang Selatan yang menjadi salah satu kota tercerdas Indonesia, pemandangan seperti itu terjadi.
Menumpuknya sampah di kolong tol seperti di kolong tol Wiyoto Wiyono itu, salah satu di antaranya disebabkan oleh kebiasaan warga membuang sampah seperti itu. Kebiasaan buruk warga membuang sampah itu seperti menular. Begitu terlihat ada sampah di buang di satu tempat. Besok-besok sampah-sampah yang dibuang di tempat itu semakin membanyak.
Pengelolaan sampah dan kebiasaan menyampah warga perlu segera dicari jalan keluarnya. Kalau tidak berbagai diskusi, seminar dan debat mengenai sampah ini juga hanya menjadi sampah, tidak ada manfaatnya.