JAKARTA, KOMPAS—Kerugian Perusahaan Daerah Air Minum DKI Jakarta atau PAM Jaya akan terus bertambah jika penghentian swastanisasi penyediaan air bersih menunggu kontrak dengan swasta berakhir pada 2023. Karena itu, Pemerintah Provinsi DKI didesak segera menghentikan swastanisasi tanpa menunggu kontrak berakhir.
Kerugian muncul akibat besarnya selisih antara tarif air yang dibebankan pada pelanggan dengan imbalan air yang wajib dibayar PAM Jaya kepada operator swasta layanan air bersih. Saat ini, PT Aetra Air Jakarta (Aetra) punya hak eksklusif mengelola distribusi air bersih di wilayah timur Jakarta, sedangkan PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) di barat Jakarta. Kontrak keduanya dengan PAM Jaya berlaku 1998-2023.
Berdasarkan laporan Badan Pemeriksa Keuangan yang tercantum dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 31 K/Pdt/2017, akibat adanya selisih atau shortfall itu, utang PAM Jaya pada 2007 sebesar Rp 116,97 miliar, sedangkan per September 2008 Rp 131,98 miliar. Adapun akumulasi kerugian di tahun 2007 mencapai Rp 1,77 triliun dan per 30 September 2008 Rp 1,65 triliun. Putusan MA itu mengabulkan permohonan para penggugat agar swastanisasi air dihentikan.
Sudah hampir dua tahun sejak putusan MA diputus hakim di tanggal 10 April 2017, tetapi Gubernur DKI Jakarta belum kunjung mengeksekusi perintah MA. Itu membuat para penggugat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi AIR Jakarta (KMMSAJ) mencurigai, ada upaya mengulur penghentian swastanisasi hingga kontrak PAM Jaya dengan Aetra dan Palyja berakhir tahun 2023. “Padahal, kami ingin agar kerugian negara tidak terus bertambah,” ucap warga Jakarta Selatan yang juga salah satu penggugat, Suhendi Nur, Minggu (20/1/2019) di kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Jakarta Pusat.
Upaya yang sudah dilakukan Pemerintah Provinsi DKI yaitu membentuk Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum yang beranggotakan unsur pemerintah, badan usaha milik daerah (BUMD) dari PAM Jaya dan PD Pal Jaya, serta unsur profesional. Suhendi mengatakan, ia pernah diajak berdiskusi oleh tim itu, tetapi ia menolak hadir karena agenda pertemuannya soal menafsirkan isi putusan MA.
Hal yang diinginkan Suhendi dan para penggugat lain adalah penghentian segera swastanisasi air. Ia melihat, penghentian terganjal oleh tidak adanya bunyi putusan eksplisit bahwa perjanjian antara PAM Jaya dan operator swasta harus dibatalkan, tidak seperti dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 527/PDT.G/2012/PN.JKT.PST tanggal 24 Maret 2015, yang menyatakan perjanjian kerja sama beserta seluruh addendumnya batal dan tidak berlaku.
Pengacara publik Tommy Albert menuturkan, tidak adanya pernyataan pembatalan perjanjian kerja sama dalam putusan MA tidak boleh jadi alasan swastanisasi air tidak segera dihentikan. Sebab, MA lewat Putusan Nomor 31 K/Pdt/2017 sudah memerintahkan menghentikan kebijakan swastanisasi air minum di DKI. “Artinya, Pemprov DKI bagaimana pun caranya, entah melalui pembatalan perjanjian atau apa, intinya harus menghentikan swastanisasi,” ujar dia.
Direktur Amrta Institute Nila Ardhianie sependapat dengan KMMSAJ. Menurut dia, swastanisasi air memang harus segera dihentikan agar sejalan dengan Peraturan Daerah DKI Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perusahaan Daerah Air Minum Daerah Khusus Ibukota Jakarta. “Peraturan itu masih berlaku sampai saat ini,” katanya.
Pasal 2 Perda tersebut menyatakan, PAM Jaya adalah badan yang berwenang melakukan pengusahaan, penyediaan, dan pendistribusian air minum serta usaha-usaha lain.
Menurut Tommy, kualitas layanan air perpipaan terbukti terus buruk meski kerja sama PAM Jaya dengan operator swasta sudah berjalan sekitar 20 tahun. Pada sisi lain, tarif air perpipaan di Jakarta sangat tinggi.
Nila mencontohkan, pada 2017, tarif rata-rata air di Surabaya, Jawa Timur, Rp 2.876 per meter kubik, dengan cakupan layanan sudah 97 persen. Sementara itu, tarif rata-rata air di DKI pada tahun yang sama Rp 7.976 per meter kubik atau hampir tiga kali lipat tarif rata-rata di Surabaya. Sementara itu, DKI baru mampu melayani 60-65 persen warganya dengan air perpipaan.
Sebelumnya, buruknya kualitas layanan air perpipaan membuat sejumlah penghuni permukiman padat Kampung Luar Batang di RW 003, Kelurahan Penjaringan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, protes. Air amat jarang mengalir lancar sedangkan mereka masih dibebani biaya berlangganan air. Beban bertambah karena mereka masih harus membeli air di tempat lain.
Sekretaris Masjid Jami Keramat Luar Batang sekaligus warga RW 003, Penjaringan, Herman mengatakan, ketidaklancaran pasokan air bersih merugikan sekitar 500 keluarga di empat RT, yaitu RT 003, 004, 005, dan 007. Mereka berlangganan air bersih yang diproduksi PAM Lyonnaise Jaya (Palyja).
Menurut Herman, warga sudah berkali-kali melayangkan keluhan kepada Palyja. Dalam setahun terakhir setidaknya tiga kali pekerja Palyja datang memperbaiki jaringan air, tetapi belum pernah ada solusi jangka panjang. ”Selesai perbaikan, beberapa hari air lancar, tetapi setelah itu tidak mengalir lagi,” ucapnya di Luar Batang, Penjaringan, Kamis (13/12/2018).
Lydia Astriningworo, Corporate Communications and Social Responsibility Division Head Palyja, menuturkan, suplai air Palyja untuk wilayah Luar Batang dan sekitarnya untuk sementara terganggu sehingga air tidak mengalir normal. “Saat ini, tim Palyja sedang melakukan investigasi untuk mengetahui penyebab gangguan ini,” tutur dia dalam keterangan pers, Kamis.
Lydia menambahkan, Palyja meminta maaf atas gangguan di wilayah RW 03 Kelurahan Penjaringan. Pihaknya tetap berupaya memberikan pelayanan terbaik dan senantiasa melakukan perbaikan.