NTRL yang Bersiasat
Band rock NTRL menandai perjalanan mereka selama 25 tahun di panggung musik Indonesia dengan terobosan baru. Penuh percaya diri, mereka meluncurkan boxset album XXV versi premium ke pasar yang tengah hiruk-pikuk digempur produk-produk digital.
Boxset album XXV NTRL tersebut berisi dua keping cakram padat berisi 26 lagu, sertifikat kepemilikan, merchandise berupa kaus eksklusif dengan desain khusus, serta sebuah DVD film dokumenter perjalanan NTRL selama 25 tahun di panggung musik Indonesia berjudul NTRL 25 Tahun Berkarya. Boxset tersebut dilempar ke pasaran dengan harga Rp 350.000 per buah.
Sejak ditawarkan dengan sistem pre-sale hingga hari perilisan pada Selasa (15/1/2019), boxset tersebut sudah terjual sebanyak 260 buah. Angka itu dipastikan akan terus bertambah karena sistem pembelian daring yang memudahkan transaksi tanpa batasan wilayah melalui situs khusus belialbumfisik.com serta sejumlah marketplace yang telah akrab di tengah masyarakat.
Bagi para personel NTRL yang terdiri dari Bagus Dhanar Dana (vokalis/basis), Christopher ”Coki” Bollemeyer (gitaris), dan Eno Gitara Ryanto (drumer), kehadiran boxset premium NTRL tersebut menjadi bukti bahwa di usia NTRL yang sudah cukup panjang di dunia musik Tanah Air, mereka tidak berhenti berkarya. Mereka bahkan terus berupaya membuat karya dengan terobosan-terobosan baru serta terus-menerus menggali kreativitas mereka dalam bermusik.
”Senang karena dengan adanya boxset XXV ini, artinya ada karya baru lagi. Berarti nanti kami jalan lagi, tur lagi, konser lagi. Enggak berhenti,” kata Bagus.
Meski era digital telah mengubah ekosistem bermusik dan cara konsumsi masyarakat terhadap musik, NTRL tidak meninggalkan album fisik. Mereka yakin masih banyak penggemar album fisik sehingga alih-alih meninggalkan album fisik, mereka justru berusaha memberikan nilai lebih agar konsumen tetap memiliki alasan untuk membeli album fisik.
”Makanya, selain CD berisi lagu-lagu NTRL, ada juga merchandise berupa T-shirt yang desainnya eksklusif, juga ada film dokumenter tentang perjalanan NTRL,” ujar Eno.
Dari sisi lagu, CD XXV terbagi dalam dua keping cakram padat berisi 26 lagu. Sembilan belas berupa lagu lama, ditambah tuju lagu baru. ”Tetapi, semuanya diaransemen ulang karena kami pengin versi yang berbeda. Jadi, enggak cuma ambil dari master terus direkam. Aransemennya kami pakai aransemen yang biasa kami bawain di panggung,” kata Coki.
Secara khusus, melalui kehadiran film dokumenter berdurasi sekitar 1 jam 30 menit, NTRL berharap dapat menjadi jembatan yang dapat menghubungkan NTRL dengan penggemar- penggemar baru yang selama ini awam dengan sejarah dan perjalanan NTRL sebagai sebuah band.
”Di usia NTRL yang sudah 25 tahun, kan, tentu ada pergantian fans dari fans zaman dulu sampai yang baru suka NTRL dan pengin tahu perjalanan Netral ke NTRL. Makanya, kami bikin film itu dari formasi awal sampai sekarang supaya fans tahu perjalanan kami selama ini kayak gimana,” ujar Eno.
Film yang digarap oleh Anak Negeri Production ini kisahnya meliputi pergantian nama dari Netral hingga menjadi NTRL, konflik yang menyertainya, serta jatuh bangun mereka selama 25 tahun. Para personel digambarkan secara apa adanya. Kisahnya dirangkai dan dibangun dari hasil wawancara para personel lama hingga personel NTRL saat ini.
”Ini pencapaian luar biasa. Enggak terasa udah 25 tahun. Rasanya luar biasa banget. Tadinya hanya main musik untuk kesenangan, ternyata jadi kerjaan sampai sekarang,” kata Bagus.
Bagi Coki dan Eno, meski keterlibatan mereka di NTRL belum mencapai 25 tahun, keduanya turut senang bisa turut menjaga NTRL hingga hari ini. ”Mudah-mudahan bisa sampai terus ke depan,” ujar Coki.
Nilai lebih
Executive produser boxset XXV NTRL 25 Tahun Berkarya, Erix Soekamti dari band Endang Soekamti, mengungkapkan, album fisik harus diproduksi dengan memberikan nilai lebih karena yang saat ini era digital telah mengubah ekosistem serta kebiasaan orang dalam menikmati musik serta mengapresiasi idolanya. Begitu juga dengan para musisi
yang terlibat di dalam industri musik.
”Industri musik sudah mengalami tiga kali kehancuran. Kaset dihancurkan CD, CD dihancurkan musik download, lalu masuk periode streaming seperti sekarang ini. Album fisik nyaris tidak diproduksi lagi,” papar Erix.
Karena tidak menyuguhkan album fisik, era digital memiliki kelemahan. viewer akhirnya menjadi ”Tuhan” sehingga musisi cepat merasa puas. ”Hanya dengan satu lagu, asal viewer melimpah, streaming banyak dan panggung off air membeludak, mereka sudah puas. Musisi tidak lagi terpicu untuk punya nafsu bikin album yang kontekstual seperti zaman dulu. Yang terjadi sekarang, banyak yang lempar singel, kalau enggak rame, ya udah bubar,” ucap Erix.
Kehadiran album fisik dengan kemasan premium, seperti yang dilakukan NTRL, diharapkan dapat memberi alasan album fisik kembali diminati. Begitu juga dengan musisinya, mereka terus tertantang untuk berkarya menyuguhkan kreativitas baru dalam bermusik.
”Harapannya bisa menjadi habit baru. Orang mengapresiasi idolanya tidak lagi hanya mendengar secara streaming, tetapi juga mengoleksi collectible item-nya. Jadi, kami memberi pilihan. Kalau mau gratisan, ya, silakan streaming. Kalau mau nonton konsernya, itu juga apresiasi dan support luar biasa,” kata Erick.
Dia berharap kebiasaan ini juga bisa menular kepada musisi-musisi lain. Sejumlah musisi, menurut Erick, sudah siap melakukan hal serupa. Setelah NTRL, akan segera disusul oleh Gugun Blues Shelter, Pee Wee Gaskin, Ahmad Dani, Anji, serta The Adams.
Setiap band akan menyuguhkan boxset yang berbeda. Yang jelas, selalu ada nilai lebih yang diberikan dengan menghadirkan segenap kreativitas yang ada.
”Pasar pasti ada. Untuk awal- awal ini titik beratnya di band yang punya komunitas karena memang sasarannya niche market (pasar terbatas). Enggak muluk-muluk, yang penting keinginan para die hard fans-nya terpenuhi. Dan, musisi secara otomatis akan bergairah lagi untuk membuat album yang konseptual,” papar Erix.