Mari bermain dan berimajinasi tentang sapi terbang. Tentu bukan lembu yang benar-benar bisa melayang. Cuma angan-angan yang coba membuat gembira suasana hati. Meski kita telah dewasa, pasti masih ada ruang relung hidup berisi sifat kekanak-kanakan yang senang mengkhayal, bermimpi, bercita-cita. Yang penting bahagia.
Panggung Balai Pemuda, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (19/1/2019) malam, baru selesai menampilkan tiga repertoar balet karya Marlupi Dance Academy. Setelah itu, dipentaskan ”Flying Cow” karya Jack Timmerman oleh De Stilte, perusahaan seni tari asal Belanda yang fokus pada pengembangan dan produksi koreografi untuk semua umur; anak-anak hingga, orang tua atau usia lanjut.
Surabaya merupakan kota ketiga pementasan dalam rangkaian tur De Stilte di Indonesia. Repertoar tadi tampil perdana di Jakarta, Sabtu (12/1/2019), lalu di Yogyakarta (16/1/2019). Koreografi tadi secara garis besar ingin menampilkan dunia imajinasi anak-anak yang mengedepankan persahabatan, solidaritas, dan betapa penting bagi manusia untuk tetap bermain.
Awalnya adalah gelap. Sunyi. Lalu, ada suara jangkrik. Di sudut kanan depan panggung itu tersusun meski kurang presisi, sangkar-sangkar mini. Di sisi belakang ada semacam wadah sangga dari kayu. Mungkin ini suasana desa. Tenteram. Damai. Kembali sunyi.
Lalu, seorang penari (lelaki) datang, mengeksplorasi, dan bermain di panggung. Ia pun terusik saat ada benda yang menggelinding. Mungkin itu telur. Saat ada satu ”telur” menggelinding ke panggung, sang penari mengambil sangkar dan menangkap benda itu. Kemudian, ada ember. Benda dari logam itu dipakai bermain seolah-olah menjadi binatang yang bertelur atau menggonggong dalam buta. Senang sekali rasanya bermain-main dengan sangkar, telur, dan ember.
Penari lainnya (perempuan) datang yang punya kemampuan mengulum dan mempermainkan telur dalam mulutnya. Mereka kemudian menjadi akrab dan bermain bersama dengan telur-telur, sangkar-sangkar, dan ember. Mereka meliuk, melompat, bergulung, menungging, seolah seorang anak yang tidak bisa diam dan sedang penuh kegembiraan.
Datanglah penari lainnya (perempuan) dengan benda seperti laso yang diputar di atas kepala. Putarannya mengeluarkan dengung yang kencang laksana serbuan pasukan tawon terhadap para pengganggu sarang. Ia bermain dengan wadah sangga yang berangin sehingga telur yang diletakkan di atasnya melayang. Selain itu, serpihan kertas beterbangan ketika disebar di atas semburan angin.
Dari sinilah kemudian muncul kecemburuan. Sang lelaki yang awalnya senang bermain dengan teman perempuannya menjadi teralihkan dengan kawan baru. Kedua penari perempuan seakan berada dalam perebutan pengaruh dengan penari lelaki. Sikap yang wajar dan alamiah. Saat kita punya teman dekat, tentu tak rela ketika sang sobat juga bermain dengan teman barunya. Segala upaya akan ditempuh untuk merebut kembali hati sahabat.
Namun, segala pertengkaran akan luluh oleh solidaritas dan atas nama main bareng. Daripada berebut teman, lebih baik main bersama. Imajinasi menjadi mahaluas dan kegembiraan tak terbatas. Pipa dengan pegangan gagang bisa menjadi alat dorong. Disambung-sambung dengan pipa-pipa lainnya menjadi sosok rangka bertanduk. Eh ternyata ditempeli selembar kain motif kulit sapi yang putih hitam pada bagian tengah. Di bagian bawah ada balon tapak tangan yang dikembangkan dengan udara pompa. Jadinya sosok seolah sapi. Saat diputar, didorong, dan dipermainkan menjadi ibarat sapi terbang (flying cow).
”Kami menampilkan permainan dengan orang lain, benda, dan apa saja layaknya anak-anak untuk berbagi emosi dan kegembiraan,” ujar salah satu penari, Kaia Vercammen, seusai pementasan. Hal senada diutarakan oleh dua penari lainnya yakni Tessa Wouters dan Gianmarco Stefanelli. Penampilan yang mendapat aplaus meriah dari sekitar 2.000 penonton yang menyesaki gedung juga memperlihatkan kepiawaian tim artistik terutama Bert Vogels (properti), Timothy van der Holst (musik), Joost van Wijmen (kostum), dan Pink Steenvoorden–Einstein Design (desain pencahayaan).
Bermainlah
Pementasan tadi seolah ingin mengonfirmasi bahwa tarian dapat dinikmati segala usia. Manusia seharusnya tetap hidup dalam imajinasi mereka. Terutama anak-anak, melalui bermain, dunia akan terbentang luas. Jiwa dan raga mereka akan selalu dekat dengan alam, sesama, dan makhluk lainnya. Dengan terus bermain yang positif, manusia diasumsikan mampu memosisikan diri dalam masyarakat secara baik. Bermain juga bisa dilihat sebagai upaya untuk sejenak keluar dari rutinitas.
De Stilte didirikan pada 1994 di Belanda. Kebanyakan repertoar yang diproduksi dan dipentaskan untuk anak-anak atau semua umur. Sanggar ini banyak tampil di sekolah dengan fokus pengembangan kepribadian anak-anak. Dalam pengajaran, pengetahuan memang amat penting tetapi keterampilan dan perkembangkan pribadi juga patut mendapat perhatian mendalam.
Di Belanda, De Stilte cukup dikenal sebagai sanggar teater remaja dengan audiens segala umur. Sanggar ini dikenal hingga mancanegara sampai mendapat predikat sebagai kelompok tari Belanda yang paling sering pentas di luar negeri. Pementasan repertoar ”Flying Cow” merupakan penampilan perdana di Indonesia.