Nyawa QLR, tak terselamatkan, Jumat (18/1/2019), setelah menjadi sasaran dendam dan amarah sang ibu, RS (27). Bayi perempuan 1,5 tahun itu tewas dengan luka-luka lebam di sekujur tubuhnya. Kejadian di RT 004 RW 003 Kampung Gebang, Sangiang Jaya, Periuk, Kota Tangerang, Banten itu bisa jadi yang pertama, namun menegaskan anak sangat rentan menjadi korban kekerasan, bahkan oleh orang tuanya sendiri.
Dihubungi dari Jakarta, Minggu (20/1/2019), Kepala Kepolisian Sektor (Polsek) Jatiuwung Komisaris Eliantoro Jalmaf mengatakan, kabar mengenai kematian QLR datang dari Rumah Sakit Bunda Sejati, Jatiuwung. Karena banyak lebam di area punggung, wajah, dan kaki, pihaknya menilai kematian korban janggal.
“Menurut hasil visum, kematian diakibatkan benturan benda tumpul dan keras. Setelah kami periksa lima saksi, yaitu orang tuanya dan tetangga di kiri dan kanan ruamh, ternyata korban sering dicubit dan dipukuli oleh ibunya sendiri,” kata Eliantoro.
Kini RS ditahan di Polsek Jatiuwung. Pemeriksaan terhadap tersangka menguak persoalan dendam dan kebencian terhadap mantan suaminya yang kedua. Dendam ini dilampiaskan RS dengan memukuli QLR, bahkan saat ia tidak rewel. Hanya teringat pada sang mantan suami bisa meluapkan kemarahannya, lalu ditumpahkan dengan meninju punggung anaknya berkali-kali.
“Mantan suami meninggalkan RS saat akan melahirkan korban. Penyebabnya belum diketahui. Karena kondisi ekonomi saat itu sangat memprihatinkan, QLR dititipkan pada tetangga. Mantan suami dan keluarganya ini malah menuduh RS menjual bayinya kepada tetangga,” kata Eliantoro.
Sekira satu tahun setelah QLR dititipkan, RS yang telah menikah dengan Wage (50), seorang pengojek daring, merasa kemampuan finansialnya lebih baik. Bayi itu pun diambilnya kembali. Empat bulan terakhir, mereka tinggal di sebuah bekas garasi mobil dengan biaya sewa Rp 800.000 per bulan. Rumah itu sekaligus digunakan sebagai warung yang dikelola RS.
Kehidupan keluarga kecil itu tertutup dari warga sekitar. Warga hanya sering mendengar tangisan anak dan pukulan, bahkan pertengkaran suami-istri, namun tidak lebih dari itu (Kompas.id, 19 Januari 2019). Dari hasil pemeriksaan, Wage sebagai ayah tiri sering mencegah RS mencubit dan memukul QLR. “Pak Wage ini sering mengingatkan, ’dia cuma anak kecil’,” kata Eliantoro simpatik.
Kendati begitu, cegahan Wage tak bisa menghentikan datangnya tragedy yang menimpa bayi tak berdosa itu. Wage harus pergi mengojek, sementara RS, yang 24 jam bersama QLR di rumah, bisa teringat sang mantan suami pada jam, menit, dan detik keberapa pun dalam sehari. Nyawa bayi tak berdaya itu sepenuhnya di tangan ibunya.
Perbuatan RS melanggar Pasal 80 Ayat 3 Undnag-Undang Nomor 35/2014 tentang Perlindungan Anak. Kurungan maksimal 20 tahun kini menantinya.
Orang terdekat
Penganiayaan terhadap RS, kata Eliantoro adalah yang pertama di wilayah hukum Polsek Jatiuwung selama ia menjabat. Namun, penyiksaan terhadap anak dapat terjadi di mana saja, bahkan oleh orang terdekat. Tahun 2015, misalnya, Engeline (8) ditemukan terkubur dekat kendang ayam di halaman rumah ibu angkatnya, Margriet Megawe yang ditetapkan menjadi tersangka (Kompas, 7/7/2015).
Pada 2017, MZ (1,5) yang tinggal di Panti Asuhan Tunas Bangsa Pekanbaru, Riau, meninggal dengan lebam di sekujur tubuh akibat disiksa LR (45), pemilik panti asuhan. Pada 2018, tiga anak di Makassar, Sulawesi Selatan, disekap dan disiksa ibu angkatnya, MDD (31), di ruko tiga lantai.
Dosen psikolog forensik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Komisaris Besar Arif Nur Cahyo mengatakan, kekerasan terhadap anak merupakan bentuk kekerasan simbolik, yaitu menghadirkan sosok yang dibenci sebagai sumber kemarahan dalam diri anak. Sering kali, sosok itu adalah pasangan yang menjadi orang tua biologis anak.
“Itu bisa disebabkan teringat peristiwa-peristiwa pahit yang mengakumulasi dendam. Pelaku berpersepsi, ‘karena dia, aku menderita’. Lalu, ia melampiaskan kemarahannya secara spontan dan tak terkendali pada anak sebagai representasi sosok yang dibenci,” kata Arif.
Itu bisa disebabkan teringat peristiwa-peristiwa pahit yang mengakumulasi dendam
Relasi kekuasaan antara anak dan orang tua tidak setara sehingga anak sangat rentan menjadi korban kekerasan. Menurut Arif, manusia adalah makhluk yang ingin berkuasa, sementara anak adalah sosok yang lemah secara biologis dan psikologis. Jika anak dilihat sebagai representasi sosok yang dibenci, keselamatannya pun berada pada risiko besar.
Komisioner bidang Sosial dan Anak dalam Kondisi Darurat Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susianah Affandy mengatakan, anak sering kali dianggap sebagai barang privat milik orang tua sehingga bebas diapakan saja, termasuk disiksa dan dijadikan sasaran kekerasan oleh orang tua. Di lain pihak, kekerasan pada anak oleh orang tua dianggap masuk ranah privat keluarga sehingga masyarakat tidak ingin ikut campur.
“Padahal, soal kekerasan terhadap anak adalah pidana yang tidak mengenal istilah privat atau publik. Bahkan, UU Perlindungan Anak mengatakan, hukuman kurungan terhadap pelaku ditambah sepertiga dari tuntutan jika pelaku adalah orang tuanya. Polisi wajib menindak secara hukum,” kata Susianah.
Hapus paradigma
Kekerasan terhadap anak yang dibiarkan menahun dapat menyebabkan kekerasan dianggap sebagai sebuah kenormalan. Anak yang menerima kekerasan pun dapat menjadi pelaku kekerasan selanjutnya. Karena itu, selain menegakkan hukum, diperlukan edukasi terhadap masyarakat.
Hukuman kurungan terhadap pelaku ditambah sepertiga dari tuntutan jika pelaku adalah orang tuanya
“Saat ini, KPAI bekerja sama dengan pemerintah dengan pendekatan Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat. Tanpa peran masyarakat sebagai pelopor dan pelapor, sangat sulit melindungi anak Indoensia. Perlu sosialisasi dan edukasi untuk mendobrak paradigma pembedaan publik dan privat,” kata Susianah.
Tantangan lain yang dihadapi dalam penegakkan hukum terkait kekerasan terhadap anak adalah pencabutan kasus untuk melindungi nama baik keluarga. Selain itu, pelapor kekerasan terhadap anak juga sering diintimidasi oleh yang dilaporkan. Karena itu, kewaspadaan perlindungan anak di masyarakat mendesak ditingkatkan.
QLR hanyalah satu dari sekian anak yang harus menghadapi kekerasan setiap hari. Tanggung jawab pemenuhan hak anak tak hanya menjadi kewajiban orang tuanya, tetapi juga seluruh lapisan masyarakat. (KRISTIAN OKA PRASETYADI)