JAKARTA, KOMPAS-Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia kembali menemukan 14 spesies burung air dengan populasi sekitar 100 ekor di kawasan pesisir utara Jakarta.
Jumlah spesies burung air yang ditemukan kali ini tak sebanyak yang ditemukan pada sensus 2016. Namun keberadaan satwa liar itu diharapkan menggugah kesadaran masyarakat untuk lebih peduli pada lingkungan.
Temuan itu diperoleh dari kegiatan Asian Waterbird Cencus 2019 pada Sabtu (19/1/2019). Pengamatan dilakukan di Hutan Lindung Angke Kapuk, Jakarta Utara. Kegiatan sensus itu dilaksanakan untuk mengetahui jumlah dan persebaran burung air di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Beberapa spesies burung air nonmigrasi yang teridentifikasi, yaitu Tikusan Alis Putih, Kareo Padi, Bambangan, Kuntul, Kokokan Laut, dan Cangkak. Sementara untuk jenis burung air migrasi, gagal ditemukan dalam sensus tahun ini.
Pada sensus tahun 2016, ada 18 spesies yang ditemukan burung air, dan dua spesies di antaranya adalah burung air migrasi. Salah satunya adalah Gagangbayam yang tersebar di Eropa hingga Afrika, Madagaskar, Asia Tengah, China, India, dan Taiwan.
Pada tahun ini, tim sensus menemukan burung migrasi hutan, yakni Bubut Pacar Jambul dari Himalaya. Burung ini terakhir kali dijumpai di Jakarta, pada tahun 2016, di Suaka Margastawa Angke.
Koordinator Edukasi Outreach Yayasan Kenekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI), Ahmad Baihaqi mengatakan, penurunan jumlah spesies burung air disebabkan oleh waktu pengamatan yang singkat atau hanya sekitar empat jam. Selain itu, sensus juga terkendala cuaca mendung dan hujan, sehingga tidak semua burung air beraktivitas.
"Pada sensus sebelumnya, Raja Udang dan Cekakak Sungai juga dimasukan dalam spesies burung air. Padahal setelah dikonfirmasi, burung itu bukan bagian dari spesies burung air. Jadi, sebenarnya persebaran burung air di hutan ini masih stabil," katanya.
Bahaya sampah
Ahmad menambahkan, meski sensus berlangsung singkat, namun dari data yang dikumpulkan relawan, diperkirakan terdapat sekitar 100 ekor burung air yang ada di tempat itu. Jumlah ini diharapkan memotivasi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan masyarakat untuk terus meningkatkan kualitas lingkungan pesisir.
Keberadaan burung air berperan sebagai indikator ekosistem lahan basah. Artinya lahan basah harus terjaga untuk memastikan kecukupan makanan, tempat istirahat, dan tempat bertengger spesies unik itu.
Saat ini, ancaman terbesar keberlangsungan hidup burung air adalah tercemarnya pesisir laut Jakarta akibat limbah plastik. Pencemaran itu dikhawatirkan memusnahkan persedian makanan burung air, terutama ikan.
Berdasarkan catatan Kompas, sampah di pesisir Jakarta Utara, khususnya Kaliadem dan Muara Angke, setip hari mencapai 8-15 ton. Adapun sampah dari Pantai Mutiara mencapai 3-4 ton per hari dan sampah dari Marunda mencapai 3-5 ton per hari.
Menumpuknya sampah di pesisir Jakarta Utara didominasi sampah kiriman yang berasal dari daerah penyanggah Jakarta, seperti Tangerang dan Bekasi. Sampah dari beberapa kota itu dialirkan melalui sungai dan bermuara di pesisir pantai Jakarta Utara. (Kompas.id, 16/1/2019).
Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI, Riki Frindos menambahkan, melalui kegiatan ini, masyarakat kian sadar untuk peduli pada lingkungan. Lingkungan yang bersih dan terawat berperan menjaga keseimbangan ekosistem dan kestabilan rantai makanan makhluk hidup.
Safar (23), salah satu pemerhati lingkungan dari komunitas Global Youth Biodiversity Network, Bekasi, menambahkan, pengalaman mendata burung air di tengah padatnya kota Jakarta merupakan sebuah kegiatan yang langka dan unik. Kelangkaan itu bila dimanfaatkan maksimal dapat menjadi daya tarik bagi wisatawan.
"Apalagi letaknya di Ibu Kota. Ini bisa jadi laboratorium alam bagi pelajar untuk meneliti dan mengenal jenis-jenis burung air yang hidup di Indonesia," ucapnya. (STEFANUS ATO)