Versi Baru Warisan Wernher von Braun
Dalam hitungan hari, dunia akan mendapat tambahan ketidakpastian tatanan global. Ketidakpastian itu berupa akhir era pengendalian persenjataan nuklir dan pengoperasian persenjataan baru yang belum bisa ditangkal.
Ditandatangani pada 8 Desember 1987 oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet, Perjanjian Pengendalian Persenjataan Nuklir Jarak Menengah (INF) menjadi andalan kontrol perlombaan senjata.
INF melarang pengembangan dan penempatan persenjataan nuklir yang bisa menjangkau sasaran berjarak 500 kilometer hingga 5.500 kilometer dari lokasi peluncuran. Akan tetapi, keefektifan INF amat mungkin berakhir pada 4 Februari 2019. Hal itu menyusul pengumuman Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo pada 4 Desember 2018.
Terhitung 60 hari sejak pengumuman itu, Pompeo menyatakan AS akan memulai proses keluar dari perjanjian tersebut. AS akan tetap di INF jika Rusia mematuhi traktat itu dengan menghancurkan peluru kendali yang dikembangkan dan diduga melanggar INF.
Jauh sebelum Pompeo mengumumkan hal itu, Washington berulang kali menuding Moskwa melanggar INF. Salah satu dasar terbaru tudingan itu adalah sistem peluru kendali 9M729 yang diduga dikembangkan Rusia sejak 2008 dan kini dinyatakan beroperasi penuh. Rudal itu dibuat Novator, perusahaan yang induknya dikendalikan oleh Pemerintah Rusia.
Jerman juga menyampaikan tudingan senada. ”Seperti anggota NATO lainnya, kami percaya ada rudal yang melanggar perjanjian dan harus dihancurkan dengan metode yang dapat diverifikasi untuk menjaga kesepakatan ini,” kata Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas.
Ia mendesak Moskwa menyelamatkan INF dengan menghancurkan rudal-rudal sesuai kriteria INF. Maas pun berharap perundingan Moskwa-Washington soal INF berlangsung mulus. Harapan yang tidak mudah terwujud.
Senjata baru
Presiden Rusia Vladimir Putin menyebut keputusan AS untuk mundur dari INF sebenarnya agar Washington bisa mengimbangi Moskwa yang sudah memiliki rudal hipersonik.
Ia ingin keseimbangan kekuatan Moskwa-Washington tetap terjaga. Karena itu, berselang tiga hari sejak pengumuman Pompeo, Putin malah mengumumkan Rusia siap memiliki rudal hipersonik antarbenua versi mutakhir.
Rudal mutakhir itu dinyatakan siap dipakai pada 2019. Pengoperasian rudal itu membuat Rusia mampu terus menjaga keseimbangan kekuatan dengan AS. Rudal itu mampu mengubah arah dan ketinggian serta, menurut Putin, tidak mungkin bisa dicegat.
”(Kecepatannya) 20 kali lebih cepat daripada kecepatan suara. Saya tidak yakin negara lain bisa mengembangkan senjata sejenis dalam beberapa tahun mendatang. Kami sudah memilikinya,” kata Putin.
Sistem rudal yang belum dinamai itu dinyatakan lebih baik daripada Dagger yang sudah dimiliki Rusia. Rudal yang dirancang untuk diluncurkan dari udara itu diklaim mampu mencapai 10 kali kecepatan suara. ”Sudah dioperasikan tentara kami,” ujarnya.
Ia juga mengumumkan angkatan bersenjata Rusia segera menerima rudal balistik baru pada 2020. Rudal berpemandu laser itu dinamai Sarmat dan dinyatakan lebih ampuh daripada rudal-rudal balistik Rusia sekarang.
Klaim Putin soal keunggulan persenjataan Rusia bukan omong kosong. ”Kita tidak punya pertahanan apa pun untuk menangkal serangan persenjataan jenis itu (rudal hipersonik). China dan Rusia sangat agresif mengembangkan kemampuan hipersonik. Kami sudah melihat mereka menguji kemampuan itu,” kata Panglima Komando Strategis AS Jenderal John Hyten dalam dengar pendapat di senat AS pada Maret 2018.
Lembaga kajian yang terkait dengan militer AS, RAND, menyebut AS sebenarnya relatif maju dalam pengembangan persenjataan hipersonik. Bersama Rusia dan China, AS meninggalkan Perancis, India, dan Australia yang juga mengembangkan persenjataan hipersonik.
Sementara Jepang dan sejumlah negara Eropa mengembangkan teknologi hipersonik untuk keperluan sipil. Walakin, RAND mengingatkan bahwa teknologi versi sipil dapat dimodifikasi menjadi versi militer.
”Kita tidak punya sistem pertahanan mangkus menghadapi persenjataan hipersonik karena cara persenjataan itu terbang, bermanuver pada ketinggian yang tidak dirancang untuk sistem pertahanan saat ini. Semua pertahanan kita dirancang berdasarkan obyek balistik,” kata peneliti RAND, Richard Speier.
Pergerakan rudal-rudal balistik, seperti juga peluru dari senapan atau pistol, bisa diperkirakan. Sekali dilepaskan, rudal balistik akan bergerak di lintasan yang dipengaruhi gravitasi.
Oleh karena itu, pergerakannya bisa diperkirakan dan hampir mustahil berubah arah. Sistem pertahanan udara saat ini bekerja dengan memperkirakan lintasan itu, lalu mencegat rudal di tengah perjalanan.
Sementara rudal hipersonik bisa berubah kapan pun di tengah perjalanan menuju sasaran. Hal itu membuatnya nyaris mustahil dicegat dengan sistem pertahanan udara masa kini.
Selain itu, kecepatannya amat tinggi. Sebagai pembanding, F-22 yang disebut pesawat tempur terbaik saat ini tidak bisa terbang melebihi 2,5 kali kecepatan suara.
Sementara rudal Dagger Rusia diklaim bisa mencapai hingga 10 kali kecepatan suara. Adapun rudal terbaru yang diumumkan Putin, jika memang benar, bisa mencapai 20 kali kecepatan suara.
Apa pun kecepatannya, pengakuan Putin dan Hyten mengindikasikan AS dan sekutunya sekali lagi tertinggal. Di Perang Dunia II, AS dan sekutunya tertinggal kala roket V-2 Jerman menghantam kota-kota Eropa.
AS bisa mengatasi ketertinggalan itu setelah pemimpin pengembangan V-2, Wernher von Braun, menyerahkan diri ke AS, lalu setuju mengembangkan roket untuk AS. Roket-roket AS setelah PD II berkembang dengan pengawasan Braun.
Werhner von Braun lahir pada 23 Maret 1912 dan meninggal di usia 65 tahun, yakni pada 16 Juli 1977. Ia adalah salah satu pengembang roket dan juara eksplorasi ruang angkasa yang paling penting selama periode antara 1930-an dan 1970-an.
Braun adalah ilmuwan roket Jerman-Amerika, insinyur ruang angkasa, dan salah satu tokoh terkemuka dalam pengembangan teknologi roket di Jerman era Nazi selama Perang Dunia II, dan kemudian di AS.
Ketika Perang Dunia II usai, Braun dan ratusan ilmuwan roket lainnya menyerahkan diri kepada sekutu/Amerika Serikat, dan selanjutnya melalui Operasi Paperclip, ia diterbangkan ke AS.
Di AS dia lalu bekerja untuk Angkatan Darat negara itu dan kemudian dipindahkan ke NASA. Pada tahun 1955, 10 tahun setelahnya, ia resmi menjadi warga negeri AS.
Kini, AS dan sekutunya membutuhkan percepatan agar bisa mengatasi ketertinggalan dari Rusia. AS dan sekutunya harus mencari versi baru dari peninggalan Von Braun. (AFP/REUTERS/CAL)