Ada masanya ketika jembatan penyeberangan orang dibuat ala kadarnya. Yang penting pejalan kaki dapat menggunakannya, tidak peduli keamanan ataupun kenyamanan saat menyeberang di jembatan. Namun kini kondisi itu hendak diubah. Jembatan coba dibuat aman, nyaman, untuk pejalan kaki, termasuk kalangan difabel. Tak sebatas itu, menarik pula untuk dipandang.
Ini setidaknya yang terlihat dari jembatan penyeberangan orang (JPO) di Jalan Jenderal Sudirman, persisnya di Bundaran Senayan, Jakarta. Sejak 1 November 2018, jembatan itu direvitalisasi oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dan kini pengerjaannya sudah hampir rampung.
Dari luar, desain JPO tidak seperti jembatan penyeberangan yang pernah dibangun di Jakarta sebelumnya. Jembatan berbentuk seperti terowongan dengan deretan panel menyerupai cincin di sepanjang jembatan.
Di dalam jembatan, saat Kompas mencobanya, Senin (21/1/2019), tersedia ramp untuk naik-turun jembatan. Ramp tidak terlalu curam, sehingga memudahkan pejalan kaki sekaligus penyandang disabilitas. Untuk lebih memudahkan para penyandang disabilitas, kemudian para lanjut usia, ibu hamil, dan anak-anak, disediakan pula lift. Rencananya lift akan tersedia di kedua ujung JPO.
Ramp ataupun lantai jembatan, tidak menggunakan pelat metal atau baja atau lapisan semen seperti jamak digunakan di jembatan-jembatan sebelumnya. Material lantai dan ramp menggunakan kayu artifisial, sehingga lantai layaknya kayu sungguhan, berwarna cokelat.
Jenis lantai ini dipilih karena tidak licin saat terkena air. Dengan demikian, bisa membuat aman dan nyaman pejalan kaki yang menggunakannya, terutama saat hujan turun, selain tentunya model lantai kayu tampak lebih sedap dipandang.
Atapnya pun berbeda dengan yang biasa digunakan di jembatan-jembatan penyeberangan sebelumnya. Jenis atap yang dipilih, terbuat dari polikarbonat. Sifat utama atap ini, dapat menyerap sinar matahari hingga 90 persen. Oleh karena itu, walau matahari sedang terik, berada di jembatan akan tetap terasa adem daripada JPO yang menggunakan atap biasa.
Tak hanya JPO di Bundaran Senayan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga merevitalisasi dua JPO lain di Sudirman, persisnya di Gelora Bung Karno dan Polda Metro Jaya. Dan desain revitalisasi di kedua JPO itu, mirip dengan Bundaran Senayan. Artistik, kemudian aman dan nyaman bagi pejalan kaki.
"Soft launching JPO akan dilakukan di akhir Januari ini, tapi rampungnya secara keseluruhan,rencananya Maret 2019," kata Supervisor PT Abadi Prima Inti Karya Imam Chanafi yang merupakan kontraktor dari revitalisasi ketiga JPO tersebut.
Tidak mengedukasi
Walau memiliki fasilitas dan desain yang lebih layak, pendapat berbeda mengenai revitalisasi JPO ini, datang dari Alfred Sitorus dari Koalisi Pejalan Kaki. Ia justru menilai JPO tersebut tidak mengedukasi masyarakat bahwa pejalan kaki memiliki hak yang sama dengan pengendara.
"Kita apresiasilah yang bangun JPO itu, tetapi JPO itu tidak mengedukasi tapi membangun egoisme pengendara. Pejalan kaki bersusah naik tangga agar mereka (pengguna kendaraan bermotor) bisa berjalan tanpa hambatan. Padahal peraturan perundang-undangannya kan lebih mendahulukan pejalan kaki," kata Alfred.
Alfred juga menilai, JPO mematikan toleransi pengendara kendaraan bermotor pada pejalan kaki. Tidak ada interaksi toleransi antara pengendara dan pejalan kaki. Padahal interaksi seharusnya dapat menumbuhkan kesadaran pengendara pada keberadaan pejalan kaki.
Makanya menurut dia, penyeberangan dengan model pelican crossing seperti di dekat Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, jauh lebih berkeadilan daripada JPO. Pejalan dan pengendara menggunakan jalan yang sama dengan batas waktu tertentu.
Sejarah JPO
JPO yang direvitalisasi Pemprov DKI tersebut, merupakan evolusi terbaru dari bentuk JPO di Tanah Air. Jika ditilik ke belakang, JPO pertama kali hadir di Indonesia, 21 April 1968.
Mengutip dari arsip Kompas yang terbit 22 April 1968, JPO pertama itu berdiri di depan Sarinah, yang berada di Jalan MH Thamrin. JPO itu diberi nama “Djembatan Kartini” oleh Gubernur DKI Jakarta saat itu, Ali Sadikin, karena peresmiannya bertepatan dengan Hari Kartini, 21 April.
“Dengan dibukanja djembatan seberangan ini semoga warga kota akan mendjadi warga jang baik dengan mematuhi peraturan2 serta menggunakan djembatan seberang itu dengan baik pula,” demikian Gubernur dalam pesannya yang disampaikan kepada masyarakat Ibu Kota saat itu.
Setelah diresmikan, warga DKI Jakarta antusias mencobanya. Ratusan orang bergantian mencoba jembatan tersebut.
Gubernur memilih membangun JPO daripada terowongan bawah tanah karena terowongan dikhawatirkan akan terendam banjir saat musim hujan. Selain itu, membangun terowongan memakan biaya pembangunan yang besar. Hal lain, Ali Sadikin khawatir terowongan menjadi “markas” gelandangan.
JPO ini juga solusi karena model penyeberangan orang lainnya, seperti zebra cross dan lampu lalu lintas di sejumlah simpangan tidak berhasil menggugah kesadaran pengendara kendaraan bermotor untuk lebih memprioritaskan pejalan kaki yang hendak menyeberang.
Masih dari Kompas (22/4/1968), selain Jembatan Kartini, pemerintah juga membangun JPO lainnya, yang total seluruhnya berjumlah tujuh JPO, diantaranya di Sudirman, MH Thamrin, Matraman Raya, dan Salemba. (SITA NURAZMI MAKHRUFAH)