Angkutan umum yang efektif menjadi faktor penting dalam pembangunan, terutama pembangunan di kawasan perkotaan. Dengan angkutan umum, warga dapat mengakses tempat kerja, sekolah, pasar, rumah sakit, dan banyak lokasi tujuan lain dari tempat tinggalnya.
Namun, di banyak kota di negara berkembang, sering kali tidak tersedia angkutan umum memadai. Akibatnya, warga berpaling menggunakan kendaraan pribadi. Kemacetan mendera. Dampak lain berkembang, seperti peningkatan polusi dan masalah kesehatan.
Selain itu, kesenjangan di masyarakat mengental. Yang berpunya dapat mengakses kendaraan yang lebih baik dan mahal, seperti mobil pribadi ataupun taksi. Yang tak berpunya harus menerima naik angkutan bobrok.
Dalam Bus Rapid Transit Sustainable Transport: A Sourcebook for Policy-makers in Developing Cities terbitan tahun 2005 disebutkan formula tepat untuk mengatasi kebuntuan itu dengan membangun jaringan angkutan umum massal berbasis rel.
Namun, membangun angkutan massal berbasis rel ini amat tinggi biayanya dan waktu pembangunannya lebih lama. Sebagai jalan tengah, muncul ide angkutan massal berbasis jalan atau bus (bus rapid transit/BRT).
Penelusuran Litbang Kompas, BRT memiliki beberapa keunggulan. Kapasitas angkut BRT di Jakarta, yaitu Transjakarta untuk bus sedang mencapai 42 orang, bus besar 82 orang, dan bus gandeng 140 orang. Daya angkut itu jauh lebih besar dibandingkan mobil, sepeda motor, atau angkutan perkotaan (angkot) reguler.
Biaya pembangunan konstruksi BRT, untuk nilai uang saat ini, Rp 10 miliar-Rp 50 miliar per kilometer. Total waktu mulai fase desain, persiapan, hingga pembangunan kurang dari dua tahun. Biaya konstruksi angkutan massal berbasis rel bisa sepuluh kali lipat BRT untuk per kilometernya.
Membangun BRT berarti membangun jaringan layanan angkutan modern berbasis bus yang efisien dan meminimalkan transit. Selain itu, berarti membangun institusi pengelola yang profesional, tarif angkutan umum terintegrasi, dan kualitas layanan yang baik. Kota tidak saja dikikis berbagai persoalannya, seperti kemacetan, polusi, dan kesenjangan, tetapi menjadi lebih tertata dan cantik.
Berbagai pertimbangan itulah yang dulu mengilhami Pemerintah Kota Curitiba di Brasil. Kota ini disebut tempat lahirnya BRT dalam skala luas pada 1974. BRT juga digunakan di kota-kota di Amerika Serikat, Kanada, dan Inggris.
Terobosan pembangunan BRT di era yang lebih modern dilakukan di Quito, tahun 1996, yang menerapkan sistem bus elektronik. Selanjutnya kota-kota di Amerika Latin meniru Quito, termasuk di Bogota. Di awal tahun 2000, demam BRT melanda Asia. Taipei (Taiwan), Nagoya (Jepang), dan Jakarta di Indonesia mengadopsinya.
Meski menuai pro-kontra di awal pembangunannya, 15 tahun silam, BRT di Jakarta, yaitu Transjakarta, kini dinilai cukup berhasil. Bahkan, BRT menjadi bagian dari kebijakan pembangunan transportasi publik nasional.
Sejumlah ketentuan mengenai BRT di Indonesia yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan. Mendukung realisasi program BRT, ada program pengadaan 3.000 bus Kementerian Perhubungan (2015-2019) di 33 provinsi. Dananya berasal dari pengalihan subsidi BBM untuk pembangunan infrastruktur.
Meskipun demikian, dalam Bus Rapid Transit ditegaskan BRT hanyalah salah satu alternatif angkutan umum massal. Tiap kota dapat memilih moda sesuai kebutuhannya. Menyediakan berbagai angkutan umum massal dan membentuk jaringan layanan dengan angkutan perkotaan reguler tentunya akan makin mujarab untuk mewujudkan pergerakan orang yang efektif di perkotaan.