Di Semarang, Trans-Semarang berkembang baik. Bahkan disusul dioperasikannya bus lintas kota di Jawa Tengah yang dinamakan Trans-Jateng. Namun, tren ”Transjakarta” yang menghinggapi kota-kota di Indonesia tidak semua berbuah manis seperti di Semarang.
Harapan menjadikan bus Trans-Bandar Lampung sebagai model sistem bus rapid transit (BRT) atau angkutan umum massal berbasis jalan atau bus masih jauh dari kenyataan. Sebab, layanan BRT yang diluncurkan tujuh tahun lalu untuk mengurangi kemacetan kini kinerjanya justru semakin merosot.
Saat ini, armada BRT tidak lagi banyak beroperasi di jalan protokol Kota Bandar Lampung. BRT yang semula melayani tujuh rute kini hanya melayani rute Rajabasa-Panjang. Armada BRT pun mengambil dan menurunkan penumpang seenaknya, tidak lagi memanfaatkan halte. Penumpang juga tidak lagi mendapat tiket saat membayar pada kondektur bus.
Padahal, pada awal peluncurannya tahun 2011, layanan BRT itu menjadi moda transportasi massal andalan warga Kota Bandar Lampung. Seperti yang diungkapkan oleh Dina Aprilia (27), warga Gedung Meneng, Kecamatan Rajabasa, Bandar Lampung.
”Dulu, setiap hari saya naik BRT untuk pergi ke kampus. Fasilitasnya cukup nyaman dan ongkosnya murah, hanya Rp 3.500 per orang,” kata Dina saat ditemui, Jumat (18/1/2019), di Bandar Lampung.
Dia menyayangkan kini BRT tidak lagi melayani rute dalam kota. Armada BRT justru banyak digunakan untuk melayani rute luar kota atau disewakan.
Saat ini, kata Dina, dia lebih mengandalkan transportasi online dibandingkan angkutan umum seperti mikrolet. Selain lebih cepat, ongkos ojek online juga cukup terjangkau.
Kepala Bidang Lalu Lintas Dinas Perhubungan Bandar Lampung Iskandar Zulkarnain menjelaskan, sejak awal beroperasi, BRT dikelola oleh pihak swasta. Menurut dia, biaya operasional yang lebih besar dibandingkan penghasilan menjadi penyebab pengelola BRT gulung tikar. Akhirnya, sejumlah armada BRT pun dijual kepada pihak lain.
”BRT memang dikelola oleh pihak swasta yang mengutamakan bisnis. Mereka merugi karena biaya operasional bus tinggi, sementara tarifnya murah,” kata Zulkarnain.
Menurut dia, Pemerintah Kota Bandar Lampung masih berupaya menata kembali sistem transportasi massal bagi masyarakat. Tahun ini, pemkot berencana meluncurkan program BRT dengan memanfaatkan 10 armada bus bantuan dari Kementerian Perhubungan. Nantinya bus ini akan dioperasikan untuk mengisi rute yang pernah dijalankan oleh bus Trans-Bandar Lampung.
Meski begitu, kata Iskandar, pihaknya belum membahas tarif yang akan dibebankan kepada penumpang. ”Saat ini, kami sedang mengurus serah terima bus dari Kementerian Perhubungan. Awalnya, biaya operasional bus mungkin akan disubsidi oleh pemerintah,” katanya.
Iskandar menambahkan, pemerintah juga tengah memikirkan agar sistem transportasi massal ini tidak kalah bersaing dengan transportasi online. Pemkot Bandar Lampung tengah menkaji sistem transportasi massal yang terintegrasi dengan sistem daring. Harapannya, pengguna dapat mengetahui jadwal dan memantau perjalanan bus menggunakan gawai.
Renata Triani (30), warga Bandar Lampung lainnya, menilai, upaya Pemkot Bandar Lampung menghidupkan kembali transportasi massal akan semakin sulit. Pasalnya, sebagian besar warga Kota Bandar Lampung sudah bergantung pada transportasi daring.
”Sebagai pengguna, saya pasti memilih transportasi yang cepat, aman, dan terjangkau. Saat ini, fasilitas seperti itu saya dapat dari transportasi online. Kalau nanti sistem BRT tidak lebih baik, saya pasti tetap menggunakan transportasi online,” kata Renata.