BRT Ubah Transportasi Kota
Jaringan bus Transjakarta selama 15 tahun terakhir telah mengubah wajah ibu kota menjadi lebih baik. Tren Transjakarta pun menghinggapi kota-kota lain di Indonesia. Namun, tak semua berhasil baik.
JAKARTA, KOMPAS -- Pada Januari 2004, angkutan umum massal berbasis jalan atau bus (bus rapid transit/BRT) resmi lahir dan beroperasi di Jakarta. Diberi nama Transjakarta, kala itu layanannya baru terbatas di koridor 1 rute Blok M-Kota.
Transjakarta masih jauh dari sempurna. Sampai saat ini saja, jalur steril yang dijanjikan serta integrasi dengan angkutan umum lain belum tercapai 100 persen.
Namun, pencapaiannya 15 tahun ini tetap dinilai cukup berhasil. Hingga awal 2019, sudah terbangun 13 koridor dari 15 target koridor yang direncanakan. Juga ratusan rute penghubung yang menjangkau 58 persen luar Jakarta.
Dengan luasnya jangkauan layanan, termasuk terhubung dengan kereta komuter, Transjakarta menjadi alternatif menarik bagi warga yang tidak ingin terjebak kemacetan parah di kendaraan pribadinya. Tarif Rp 3.500 per orang serta layanan yang baik membuat warga ibu kota menyukai dan bangga dengan angkutan umumnya. Warga jadi terbiasa antre dan naik turun bus di halte.
Sebagai sistem angkutan baru, ujar Agung Wicaksono, Direktur Utama PT Transportasi Jakarta (Transjakarta) dalam wawancara Selasa (15/01/2019), dalam 15 tahun terakhir BRT di ibu kota mendorong perubahan perilaku masyarakat dalam bertransportasi.
Pemerintah daerah terlibat sepenuhnya dalam menyediakan layanan transportasi umum. Hal ini berdampak pada tarif transportasi umum yang terjangkau warga dengan adanya subsidi serta kualitas yang nyaman dan aman.
Hal ini menarik kota-kota lain di Indonesia mengadopsi sistem BRT. Kementerian Perhubungan memasukkan BRT dalam bagian kebijakan pembangunan infrastruktur angkutan publik perkotaan.
Trans Semarang
Sejak pertama dioperasikan pada 2009, layanan BRT Trans Semarang di Semarang, Jawa Tengah kini memiliki tujuh koridor layanan. Trans Semarang diperkuat 153 unit armada dari bantuan Kemenhub, bantuan keuangan Pemprov Jawa Tengah dan konsorsium.
"Kalau naik angkutan umum biasa, harus beberapa kali naik dan ribet, tetapi dengan BRT cukup sekali naik," kata Alex Bima (17), yang bersekolah di SMKN 7 Semarang, Jumat (18/1). Tiketnya pun sangat murah Rp 1.000 untuk pelajar dan Rp 3.500 untuk umum.
Kepala BLU UPTD Trans Semarang, Ade Bhakti Ariawan mengatakan pada 2019, total biaya operasional Trans Semarang Rp 140 miliar dan 112 miliar di antaranya dari APBD.
Pada 9 Januari 2019, Pemkot Semarang meluncurkan penggunaan alat konversi bahan bakar dari solar ke gas untuk 72 unit bus Trans Semarang. Proyek senilai Rp 10 miliar itu kerja sama Kota Semarang dan Kota Toyama Jepang. Manfaat penggunaan gas antara lain emisi kendaraan lebih rendah sehingga ramah lingkungan.
Peneliti transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata, Djoko Setijowarno, menuturkan, dibandingkan kota lain, Semarang menjadi salah satu yang cukup baik mengembangkan BRT. Namun, pelibatan angkutan umum existing perlu lebih optimal, sehingga APBD termanfaatkan termasuk menghasilkan pendapatan.
Berkurang
Di Denpasar, Bali, layanan Trans Sarbagita justru menyusut. Dari total 25 unit armada di tahun 2014, kini tinggal beroperasi 10 bus saja.
Beberapa warga yang memanfaatkan bus ini menyatakan terbantu. Hanya saja, mereka mengeluhkan halte yang kurang terawat serta jadwal kedatangan yang terlambat. “Haltenya tidak bersih dan panas,” kata Wayan Putra, mahasiswa di Denpasar.
Trans Sarbagita beroperasi sejak 2011 dengan bantuan bus dari Kemenhub untuk menggenjot program BRT di daerah. Selama perjalanannya, program ini sering dievaluasi dan dianggap tidak menguntungkan serta menghabiskan anggaran pemerintah untuk perawatan serta gaji pegawainya.
“Tahun ini orientasi pemerintah ke pelayanan publik dan tidak ke profit. Siswa dan mahasiswa digratiskan. Untuk umum Rp 3.500 per orang,” kata Kepala Dinas Perhubungan Provinsi Bali I Gusti Agung Sudarsana, Minggu (20/1).
Kisah Trans Bandar Lampung sama tak beruntungnya. BRT yang semula melayani tujuh rute kini hanya melayani rute Rajabasa-Panjang, Bandar Lampung. Penumpang bisa seenaknya naik turun bus, tidak lagi di halte. Mereka tidak mendapat tiket saat membayar pada kondektur bus.
Kepala Bidang Lalu Lintas Dinas Perhubungan Bandar Lampung Iskandar Zulkarnain menjelaskan, sejak awal beroperasi, BRT dikelola pihak swasta. Biaya operasional yang lebih besar dibanding penghasilan menjadi penyebab pengelola BRT gulung tikar. Akhirnya, sejumlah armada BRT pun dijual kepada pihak lain.
Belum cerdas
Inspirasi Transjakarta memang agar pemerintah kota mengambil alih pengelolaan transportasi umum. Namun, kata Transport Associate Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Gandrie Ramadhan, sejauh ini, baru Transjakarta yang baru bisa disebut BRT berdasarkan standar ITDP. Syarat bisa disebut sebagai BRT ini di antaranya ada jalur khusus dan komperehensif, offboard ticketing atau pembelian tiket di halte, bus kapasitas besar, dan prioritas simpang lalulintas untuk bus.
Belum berhasilnya beberapa kota mengelola transportasi publiknya termasuk mewujudkan BRT, menurut peneliti Institut Studi Transportasi (Instran), Deddy Herlambang, itu menunjukkan rata-rata kota-kota di Indonesia belum bisa mewujudkan konsep kota cerdas. Menurut Deddy, sebuah kota yang sistem transportasi sudah mencerminkan konsep cerdas ini adalah warga tidak lagi berpikir menggunakan kendaraan bermotor pribadi.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setiyadi, Sabtu (19/1) mengatakan kota yang bisa berhasil mengelola BRT karena banyak sebab.
Yang pertama adalah aspek infrastruktur. Pada tahun 2014-2015 Kemenhub banyak memberikan bantuan berupa bus-bus besar untuk BRT di daerah. Tetapi ternyata bus-bus itu kurang cocok karena jalan-jalan di daerah kecil dan sempit. Jadi sekarang Kemenhub akan mengevaluasi daerah mana saja yang tidak pas dengan bus bantuan dari pusat.
Selain itu, menurut Budi, masih ada pemahaman yang salah dari eksekutif maupun legislatif di daerah mengenai BRT. Tujuannya adalah memindahkan orang dari kendaraan pribadi ke angkutan umum. Kalau pemahaman itu tidak kuat, BRT tidak akan dikelola dengan bagus dan baik.
Misalnya halte dibangun apa adanya, tidak dikampanyekan, dan tidak dibuat kemudahan bagi masyarakat untuk mencapainya. Tanpa adanya kerja keras ini, maka tujuan dibuatnya BRT tidak akan tercapai.
(M CLARA WRESTI/AYU SULISTYOWATI/VINA OKTAVIA/ADITYA PUTRA PERDANA)