Informasi Soal Penggunaan Senjata Api oleh Polri Dipertanyakan
Oleh
Khaerudin
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Lembaga Bantuan Hukum Jakarta mempertanyakan sistem keterbukaan informasi di kalangan Kepolisian Republik Indonesia. Pasalnya mereka kesulitan mendapatkan data penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian karena sejumlah alasan.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengajukan sengketa informasi ke Komisi Informasi Pusat (KIP) lantaran sejumlah instansi kepolisian keberatan membuka data penggunaan kekuatan kepolisian untuk melumpuhkan pelaku kejahatan. Salah satu unsur kekuatan tersebut antara lain adalah penggunaan senjata api.
Sejumlah aturan penggunaan senjata api kepada pelaku kejahatan telah diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. Di dalam aturan tersebut memuat informasi mengenai tanggal dan tempat kejadian, uraian singkat peristiwa, alasan tindakan, evaluasi, dan lain sebagainya.
Meski begitu, sejumlah instansi kepolisian enggan membukanya saat LBH Jakarta menanyakan data penembakan terhadap pelaku kejahatan dalam selama 2010 hingga 2018. Sejumlah alasan menjadi faktornya, antara lain penjelasan bahwa data itu merupakan data yang dikecualikan.
Peneliti LBH Jakarta, Ayu Eza Tiara, mengatakan, LBH Jakarta telah mengajukan 87 informasi di sejumlah instansi kepolisian, mulai dari polsek, polres, Polda Metro Jaya, hingga Mabes Polri. Namun baru ada 13 instansi yang memberikan data tersebut.
“Sejumlah instansi kepolisian di tingkat polres dan polsek mengaku tidak memiliki data tersebut,” kata Ayu saat ditemui di Kantor KIP, Jakarta, Senin (21/1/2019).
Ayu juga menganggap dari masing-masing instansi kepolisian tersebut juga belum ada sinkronisasi yang jelas mengenai keterbukaan informasi tersebut. Hal itu terbukti saat ada beberapa instansi yang mengatakan bahwa informasi tersebut merupakan salah satu informasi yang dikecualikan.
Menurut Ayu, yang menjadi persoalan, ada beberapa polres yang bersedia memberikan informasi tersebut. Namun, ada juga Polsek yang tidak bersedia. “Nah ini sebenarnya yang dikecualikan atau bukan. Ada yang pengurusannya cepat, ada juga yang berbelit,” ungkapnya.
Sementara itu, beberapa data yang sudah didapatkan oleh LBH Jakarta dinilai belum sesuai dengan format yang terdapat dalam Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Utamanya berkaitan dengan alasan penggunaan senjata api untuk melumpuhkan pelaku.
“Kami berharap ada keterangan yang jelas apakah pelaku melawan petugas atau membahayakan masyarakat,” ujar Ayu.
Menurut Ayu, data tersebut akan dijadikan sebagai bahan kajian. Diharapkan, kajian tersebut bisa memberikan sebuah rekomendasi terkait pengawasan terhhadap penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian kedepan.
Hambat proses hukum
Berdasarkan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, dijelaskan bahwa ada sejumlah informasi dikecualikan yang tidak bisa dibuka ke publik lantaran dapat menghambat proses penegakan hukum.
Ditemui secara terpisah, Komisioner Bidang Regulasi dan Kebijakan Publik, KIP, Muhammad Syahyan, mengatakan, salah satu alasan informasi menjadi dikecualikan apabila dianggap mengganggu proses penyelidikan dan penyidikan kepolisian.
“Nanti akan kita lihat berdasarkan hasil persidangan,” ujar Syahyan.
Menurut Syahyan, KIP akan mengkaji permohonan Sengketa Informasi dari LBH Jakarta tersebut. Jika dalam sidang pertama nanti terbukti bahwa informasi yang diminta bukan termasuk yang dikecualikan, KIP akan menawarkan langkah mediasi kedua belah pihak.
Namun, jika informasi yang diminta masuk dalam informasi dikecualikan, maka akan dilakukan sidang lanjutan. Tentunya, setelah KIP melakukan uji konsekuensi informasi tersebut. “Akan kita cari apakah ada undang-undang yang menyatakan itu. Selain itu juga ada uji kepatutan,” ungkap Syahyan.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Humas Polri, Brigadir Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo belum bisa memastikan apakah data penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian tersebut bisa dibuka kepada publik. Sebab, hal tersebut harus melalui koordinasi dengan bagian Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri.
“Harus dikoordinasikan dengan Propam Polri terlebih dulu. Mereka yang mengelola informasi itu,” ujar Dedi saat dihubungi. (FAJAR RAMADHAN)