JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah riset terkait inovasi untuk mencegah dan mengobati penyakit demam berdarah dengue terus dilakukan. Sambil menunggu hasil penelitian, peran masyarakat sangat penting mencegah penularan penyakit tersebut di masyarakat, khususnya peran juru pemantau jentik.
Direktur Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik, Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi mengatakan, sejumlah penelitian pencegahan penyakit demam berdarah dengue (DBD) masih dilakukan. Penelitian itu juga dilakukan sejumlah universitas di Indonesia. Namun, pihaknya masih menunggu hasil penelitian.
”Ada penelitian agar nyamuk tidak lagi membawa virus dengue. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes juga sedang mengkaji pengembangan vaksin dengue dengan sejumlah universitas. Jenis virus dengue ada empat sehingga kami masih dalam upaya menemukan vaksin yang efektif,” kata Siti saat dihubungi dari Jakarta, Senin (21/1/2019).
Menurut Siti, vaksin dengue pernah beredar di Indonesia pada tahun 2014-2015. Namun, vaksin itu ditarik kembali oleh produsen pada akhir 2016. Sebab, vaksin itu belum efektif dan belum direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
”Belum ada metode efektif (terkait inovasi pencegahan DBD). Sekarang kita hanya bisa memberdayakan masyarakat. Hingga sekarang, program pemberantasan sarang nyamuk (PSN) adalah kuncinya,” kata Siti.
PSN dilakukan dengan gerakan 3M Plus, yaitu menguras dan menutup tempat-tempat penampungan air serta mendaur ulang barang bekas. Inovasi dilakukan pada gerakan ini dengan menambah sejumlah metode, antara lain memelihara ikan pemakan jentik nyamuk dan menaburkan bubuk larvasida pada tempat penampungan air.
Siti juga menekankan pentingnya peran jumantik di lingkungan masyarakat. Jumantik tidak hanya memastikan lingkungannya bebas jentik nyamuk. Jumantik juga dinilai lebih dekat dengan masyarakat untuk menyosialisasikan pencegahan DBD secara efektif.
Sementara itu, tercatat ada 538 kader jumantik di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Seluruhnya tersebar di 43 desa yang dinilai rawan penularan DBD.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung Grace Mediana Purnami mengatakan, jumlah kader jumantik tersebut dinilai masih belum cukup. Pasalnya, masih ada ratusan desa yang belum memiliki jumantik. Total ada 270 desa di kabupaten itu.
”Kami akui, jumlah kader jumantik masih kurang. Tetapi, kami upayakan agar ada pelatihan lagi bagi para kader jumantik. Selama ini kami prioritaskan jumantik ada di daerah endemis DBD dulu,” kata Grace.
Menurut dia, tidak ada kriteria khusus untuk merekrut kader jumantik. Namun, para kader diminta agar bisa mengajak masyarakat melakukan program PSN dan 3M plus sebanyak sekali dalam seminggu.
Para jumantik bertugas memantau tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti, seperti genangan air di wadah terbuka dan bak mandi. Mereka juga bertugas memastikan tidak ada jentik nyamuk di tempat tersebut. Biasanya kegiatan jumantik diadakan setiap Jumat.
Grace mengatakan, para jumantik akan mencatat hasil pantauannya dan melaporkannya secara berkala kepada puskesmas. Data yang dihimpun puskesmas lalu akan disampaikan kepada dinas kesehatan wilayah setempat.
”Memang ada jumantik yang tidak selalu aktif melaksanakan tugasnya. Kami ingatkan agar mereka kembali aktif. Sebab, peran mereka menjadi bagian dari tindakan preventif DBD. Semuanya harus dimulai dari diri sendiri dan lingkungan sendiri,” ujar Grace.
Efektivitas fogging
Penelitian untuk mengetahui dampak pengasapan atau fogging terhadap resistensi nyamuk Aedes aegypti belum menunjukkan kesimpulan final. Untuk mengantisipasi kekebalan nyamuk terhadap campuran zat pengasapan, Kementerian Kesehatan mengganti jenis insektisida secara rutin.
Peneliti Dampak Kesehatan Perubahan Iklim Universitas Indonesia (UI), Budi Haryanto, mengatakan, ada dua hasil penelitian terhadap kekebalan nyamuk Aedes aegypti terhadap insektisida. Keduanya menghasilkan kesimpulan berbeda. Ada yang hasilnya menunjukkan kebal dan tidak.
”Itu penelitian yang sudah ada dipublikasi internasional. Di Indonesia, penelitian mengenai itu masih langka. Kalau ada dua hasil seperti itu, artinya masih inconclusive,” kata Budi ketika dihubungi terpisah.
Maksud inconclusive adalah bukti-bukti penelitian yang ada belum menunjukkan kesepakatan. Bukti ilmiah yang kuat belum menunjukkan bahwa nyamuk penular penyakit DBD itu bisa kebal terhadap insektisida, salah satu cairan yang digunakan untuk pengasapan.
Begitu juga dengan larva nyamuk. Belum ada penelitian yang membuktikan bahwa larva nyamuk bisa kebal terhadap larvasida, zat yang digunakan untuk memberantas larva nyamuk.
Untuk mencegah resistensi, Kementerian Kesehatan rutin mengganti jenis insektisida setiap empat tahun. Ia juga menekankan pentingnya pengasapan secara bijaksana. Apabila fogging dilakukan terlalu sering, nyamuk berpotensi kebal terhadap insektisida.
”Kita mengganti insektisidanya setiap empat tahun sekali. Itu juga berlaku untuk abate. Ini untuk mencegah resistensi,” kata Siti.
Pengasapan sempurna
Agar nyamuk tidak hidup kembali setelah pengasapan, hal-hal teknis pengasapan perlu diperhatikan petugas. Menurut Budi, takaran pengasapan harus sesuai dengan aturan yang disebarkan Kementerian Kesehatan.
”Kalau takarannya tepat, lantai tidak akan berminyak setelah fogging,” kata Budi.
Ia mengatakan, setelah pengasapan, hendaknya rumah ditutup terlebih dahulu sekitar 30 menit. Hal itu dilakukan agar asap menjalar merata ke tempat nyamuk tersembunyi.
Jika tidak, butiran asap yang menempel di tubuh nyamuk bisa terseka oleh angin. Hal itu membuat nyamuk tidak mati. Jika butiran asap menempel sempurna di tubuh nyamuk, hal itu bisa menimbulkan dehidrasi pada nyamuk hingga akhirnya mati. (SEKAR GANDHAWANGI/SUCIPTO)